Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

JATAM Nilai Pidato Presiden Soal Tambang Ilegal Hanya Retorika Kosong
Tambang Tumpang Pitu yang telah beroperasi. Dok: WALHI

JATAM Nilai Pidato Presiden Soal Tambang Ilegal Hanya Retorika Kosong



Jakarta, Beritabaru.co Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR pada 15 Agustus 2025 hanya bersifat retoris dan tidak menyentuh akar persoalan di sektor pertambangan. Menurut JATAM, retorika Presiden soal penindakan tambang ilegal tidak disertai dengan tindakan konkret, terutama dalam menghadapi jejaring kekuasaan dan bisnis yang melingkupi industri tambang di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, JATAM menyebut bahwa kutipan Presiden tentang Pasal 33 UUD 1945—bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat—tidak sejalan dengan realitas di lapangan. “Kekayaan alam memang dikuasai negara, tetapi hasilnya dinikmati segelintir korporasi besar yang memiliki kedekatan dengan lingkar istana dan parlemen,” kata JATAM dalam siaran pers, Jumat (16/8/2025).

JATAM mempertanyakan komitmen Presiden yang menyatakan tidak gentar menghadapi “orang besar” di balik praktik tambang ilegal. Menurut mereka, jika pemerintah benar tidak gentar, mengapa praktik ini terus berlangsung selama bertahun-tahun, termasuk pada masa kepemimpinan Prabowo sendiri.

“Nama-nama aktor besar yang membekingi tambang ilegal bukan rahasia. Keterlibatan politisi, aparat keamanan, hingga mantan pejabat tinggi telah berkali-kali diberitakan media dan dibuktikan lewat investigasi,” ujar JATAM. Laporan-laporan tersebut, lanjut mereka, juga menunjukkan keterlibatan perusahaan cangkang dan perlindungan dari oknum aparat.

JATAM menambahkan, persoalan sektor tambang tidak berhenti pada praktik ilegal. Sejumlah perusahaan resmi yang memiliki izin pun dinilai kerap melanggar aturan namun tetap dibiarkan beroperasi. Sebagai contoh, mereka menyebut PT Dairi Prima Mineral (DPM) yang tetap beroperasi meski izin lingkungannya telah dicabut melalui putusan Mahkamah Agung. Salah satu pemegang saham DPM adalah Bakrie Group, yang disebut JATAM sebagai pendukung Presiden dalam pemilu.

Contoh lain adalah PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii dan PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Kepulauan Sangihe. Kedua perusahaan ini tetap melanjutkan operasi meski gugatan warga terhadap izin tambang dan lingkungan telah dimenangkan di pengadilan. Bahkan, adik kandung Presiden sempat dikaitkan dengan rencana pembelian saham TMS.

“Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa legalitas bukan jaminan kepatuhan hukum, karena tambang legal sekalipun kebal hukum ketika terhubung dengan kekuasaan,” tegas JATAM.

Selain aspek hukum, JATAM menyoroti dampak sosial dan ekologis industri tambang, baik yang legal maupun ilegal. Mereka menyebut praktik perampasan tanah, perusakan hutan, pencemaran lingkungan, dan lubang tambang yang dibiarkan terbuka sebagai wujud watak predatoris industri ini.

Namun, menurut JATAM, pidato Presiden hanya menyinggung kerugian negara dari sisi pendapatan. “Ia tampak lebih peduli pada aspek ekonomi negara yang kehilangan pemasukan, ketimbang pada nasib rakyat yang ruang hidupnya dirampas, bahkan mengalami kekerasan dan kriminalisasi,” tulis JATAM.

Lebih jauh, JATAM menilai bahwa negara kini telah kehilangan independensi dalam mengatur sumber daya alam karena terjerat afiliasi dengan oligarki tambang. Regulasi longgar, pengawasan lemah, dan penegakan hukum yang tebang pilih menjadi bukti konkret lemahnya posisi pemerintah dalam menghadapi kepentingan korporasi.

Sebagai penutup, JATAM menantang Presiden untuk secara terbuka mengungkap daftar nama tokoh besar yang diduga terlibat dalam tambang ilegal dalam waktu 3×24 jam. Jika tidak dilakukan, JATAM menyebut pidato Presiden tak lebih dari “bacot kosong” yang menutupi kenyataan bahwa pemerintah berdiri di pihak korporasi tambang, bukan rakyat dan lingkungan.