
FITRA Nilai RAPBN 2026 Tidak Realistis, Resentralisasi Fiskal Makin Menguat
Berita Baru, Jakarta — Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) mengkritik keras Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada Jumat, 15 Agustus 2025 lalu. Menurut FITRA, postur RAPBN 2026 belum mencerminkan kondisi nyata masyarakat dan sarat dengan pendekatan top-down yang berisiko tinggi.
“Proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen dalam RAPBN 2026 cenderung tidak realistis dan lebih bersifat pencitraan,” ujar Sekretaris Jenderal Seknas FITRA, Misbah Hasan, dalam keterangannya, Senin (18/8).
Misbah menilai bahwa angka pertumbuhan tersebut tidak berpijak pada realitas. Ia mengungkapkan, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pascapandemi (2022–2024) hanya 5,13 persen, sedangkan tingkat konsumsi rumah tangga stagnan di angka 4,87 persen.
“Pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai hanya dengan asumsi optimistis. Apalagi daya beli masyarakat belum pulih, dan program-program perlindungan sosial masih banyak salah sasaran,” katanya.
Pajak Dominan, Sistem Belum Siap
Dalam RAPBN 2026, pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp3.147,7 triliun, dengan sektor perpajakan menyumbang Rp2.692 triliun atau sekitar 85,5 persen. FITRA menilai, ketergantungan terhadap pajak ini tidak dibarengi dengan sistem dan tata kelola yang kuat.
Menurut Misbah, masih banyak persoalan mendasar yang belum dibenahi. Di antaranya adalah sistem layanan perpajakan (Coretax) yang belum stabil, lemahnya integrasi penerimaan negara, serta tingginya angka sengketa perpajakan akibat kualitas pemeriksaan yang belum optimal.
Selain itu, FITRA mencermati adanya ketimpangan akibat fragmentasi antara pusat dan daerah pasca-ditetapkannya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).
“Belum ada sinkronisasi antara desain pajak pusat dan daerah. Kasus di Kabupaten Pati bisa jadi contoh bagaimana daerah bisa sewenang-wenang menaikkan retribusi,” ujarnya.
FITRA juga menyoroti belanja perpajakan (tax expenditure) yang diperkirakan mencapai Rp563,6 triliun. Sebagian besar insentif dinikmati sektor industri pengolahan (25%), sementara sektor vital seperti air bersih, pendidikan, dan kesehatan justru mendapat porsi yang sangat kecil.
Alokasi ke Daerah Menyusut
FITRA menilai RAPBN 2026 juga menunjukkan kecenderungan kuat resentralisasi fiskal. Dari total belanja negara sebesar Rp3.876,5 triliun, sebanyak Rp3.136,5 triliun atau 83 persen dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat. Sementara itu, transfer ke daerah (TKD) hanya sebesar Rp650 triliun atau 17 persen — jauh menurun dibandingkan tahun 2025.
“Ini menunjukkan adanya ketidakpercayaan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Padahal daerah juga memiliki janji politik dan kebutuhan pembangunan yang mendesak,” kata Misbah.
Lebih lanjut, ia menyoroti sistem earmarking dalam TKD yang membuat ruang fiskal daerah sangat sempit. “Dana yang ditransfer ke daerah sudah ditentukan penggunaannya, sehingga tidak fleksibel untuk menjawab kebutuhan lokal,” tegasnya.
Program Prioritas Presiden Minim Partisipasi Publik
Sejumlah program unggulan Presiden Prabowo dalam RAPBN 2026 juga tak luput dari sorotan. Misbah menilai, banyak dari program tersebut menyerap anggaran sangat besar, namun disusun tanpa kajian yang matang dan minim partisipasi publik.
Beberapa di antaranya adalah program Ketahanan Pangan (Rp164,6 triliun), Ketahanan Energi (Rp402,4 triliun), MBG atau Makanan Bergizi Gratis (Rp335 triliun), serta Pendidikan (Rp757,8 triliun). Juga terdapat rencana pembentukan 80.000 Koperasi Merah Putih yang akan mendapat kredit sekitar Rp400 triliun dari Bank Himbara.
“Program-program ini sangat rawan diselewengkan karena minim kajian dan pengawasan. Studi TII bahkan menunjukkan adanya potensi korupsi sistemik pada pelaksanaan program MBG,” ungkap Misbah.
Rekomendasi: Reformasi Nyata, Bukan Sekadar Angka
Dalam rilisnya, FITRA memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, proyeksi ekonomi harus realistis dan berdampak langsung pada rakyat, bukan sekadar angka politis. Kedua, reformasi perpajakan harus menyeluruh dan tidak membebani rakyat kecil. Ketiga, perlu ada keselarasan antara APBN dan APBD untuk menghindari ketimpangan fiskal. Dan terakhir, program-program besar perlu disusun dengan melibatkan publik dan didukung oleh sistem pengawasan yang ketat.
“Pemerintah perlu terbuka dan memperkuat partisipasi masyarakat. DPR, BPK, dan masyarakat sipil harus mengawasi agar anggaran benar-benar pro-rakyat,” pungkas Misbah Hasan.
Rctiplus.com
pewartanusantara.com
Jobnas.com
Serikatnews.com
Serdadu.id
Beritautama.co
kalbarsatu.id
surau.co
