Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kemelaratan

Membangun Tangga Graduasi Kemiskinan





Oleh: Fadillah Putra
Dosen Kebijakan Publik Universitas Brawijaya dan Anggota Dewan Pembina The Reform Initiatives


Kemiskinan di Indonesia terus menyusut, tapi tantangannya masih nyata.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 mencatat 8,47 persen penduduk, atau 23,5 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini turun dari 9,03 persen pada September 2024.

Bantuan sosial (bansos) seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan langsung tunai (BLT) telah menekan kemiskinan ekstrem menjadi 0,85 persen, atau 2,38 juta orang, dari 1,12 persen setahun sebelumnya.

Meski begitu, bansos sering hanya menjadi penyangga sementara, bukan jalan menuju kemandirian ekonomi.

Warga yang terdaftar di data kemiskinan kerap memandang status “miskin” sebagai tiket emas untuk menerima bantuan. Hal ini membuat mereka enggan melangkah keluar.

Pendekatan transformative pathways, yang kini ramai dibahas dalam wacana global, menawarkan solusi segar. Ide ini mendorong warga membuat keputusan rasional untuk meninggalkan bansos demi peluang yang jauh lebih menjanjikan, seperti pelatihan kewirausahaan, pengembangan usaha, pemasaran, atau kontrak produktif.


Naik Kelas Kemandirian sebagai Pilihan Rasional

Graduasi kemiskinan berjenjang dirancang seperti tangga pendidikan, di mana setiap jenjang menawarkan peluang lebih menggiurkan dengan syarat warga melepaskan bansos atau manfaat sebelumnya.

Bayangkan seperti lulus dari SD—untuk masuk SMP, nama seseorang harus dicoret dari daftar murid SD. Begitu pula, warga harus proaktif keluar dari data kemiskinan untuk ‘naik kelas’ dan melangkah semakin jauh dari ketergantungan.

Kementerian/Lembaga yang terkait dengan masalah kemiskinan berperan sebagai hub warga dengan program lintas sektor tanpa birokrasi berbelit.

Misalnya, pada tangga pertama, Kementerian Koperasi dan UKM dapat menawarkan pelatihan kewirausahaan kepada 10 juta warga miskin untuk membuat produk seperti makanan olahan atau kerajinan, dengan akses ke platform pasar digital.

Data Kementerian Koperasi per Agustus 2025 menunjukkan 1,5 juta warga telah mengikuti pelatihan serupa, dengan 70 persen meningkatkan pendapatan hingga Rp4,5 juta per bulan.

Untuk ikut, warga harus mengajukan pencoretan dirinya secara sukarela dari data kemiskinan melalui prosedur yang mudah dan terintegrasi.

Seorang ibu memilih keluar dari data penerima bansos untuk mengikuti pelatihan dan pendampingan usaha membuat abon ikan, memanfaatkan potensi lokal.

Dengan pendampingan pemasaran daring, ia dapat meraup Rp6 juta per bulan—20 kali lipat dari BLT Rp300 ribu. Ini membuktikan bahwa kemandirian jauh lebih menarik daripada bansos. Sebuah pilihan yang rasional.


Tangga kedua dapat berupa kredit usaha mikro Rp50 juta dari BUMN seperti BRI atau Mandiri, dengan bunga rendah 3–5 persen per tahun untuk usaha produktif seperti warung makan atau pengolahan hasil tani.

BRI melaporkan pada Juli 2025 bahwa Kredit Usaha Rakyat (KUR) telah menyalurkan Rp180 triliun kepada 3,8 juta pelaku usaha mikro, dengan 72 persen penerima meningkatkan pendapatan hingga 50 persen.

Warga yang berhasil di jenjang pertama—dibuktikan dengan laporan penjualan selama enam bulan, misalnya laba Rp3 juta per bulan—dapat mendaftar melalui portal khusus. Syaratnya adalah melepaskan manfaat pelatihan sebelumnya, lengkap dengan pendampingan keuangan.

Seorang petani di Lampung, misalnya, menggunakan kredit untuk membeli alat penggiling padi modern. Ia berhasil meningkatkan pendapatannya menjadi Rp10 juta per bulan—pilihan rasional yang jauh lebih menggiurkan daripada tangga pertama yang hanya Rp6 juta per bulan.


Tangga ketiga dapat memperkenalkan peluang lebih prestisius, seperti menjadi penyedia Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini, per Juli 2025, telah menjangkau 20 juta anak sekolah, menciptakan 290 ribu lapangan kerja melalui 7.374 penyedia makanan.

Alternatif lain, warga bisa menjadi pengelola Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), yang diluncurkan Maret 2025 dengan target 80.000 koperasi beroperasi pada November 2025.

Untuk mengakses tangga ini, warga harus menunjukkan keberhasilan usaha dari tangga kedua—misalnya laba Rp7 juta per bulan—dan melepaskan kredit sebelumnya.

Di Makassar, seorang ibu bernama Fatimah memilih menjadi penyedia MBG, memasok makanan bergizi untuk 200 siswa dengan pendapatan Rp15 juta per bulan.

Sementara itu, seorang petani di Jember menjadi pengelola KDMP, menjual hasil tani ke pasar nasional. Keduanya jauh lebih menjanjikan daripada kredit Rp50 juta yang ditawarkan pada tangga kedua.


Tangga keempat dapat menawarkan investasi lanjutan dari BUMN seperti Pertamina atau PLN. Misalnya, modal Rp100 juta untuk usaha menengah atau pelatihan teknologi hijau, seperti membuka warung bertenaga surya.

Pertamina melaporkan pada Juli 2025 bahwa program pemberdayaan UMKM berbasis energi hijau telah mendukung 150 ribu usaha. Sebanyak 60 persen di antaranya menghasilkan laba di atas Rp20 juta per bulan.

Warga yang lulus tangga ketiga mendaftar melalui Kementerian Sosial, menunjukkan keberhasilan kontrak MBG atau KDMP selama setahun, dan melepaskan manfaat sebelumnya.

Melalui proses verifikasi yang cepat, warga kemudian dapat menerima pencairan modal atau pelatihan.


Skema Insentif Komunitas

Untuk mempercepat graduasi, pemerintah memperkenalkan skema insentif komunitas. Desa yang berhasil meluluskan 50 persen warganya dari data kemiskinan—misalnya melalui MBG, KDMP, atau pelatihan—mendapat dana pengembangan Rp500 juta dari berbagai sumber untuk infrastruktur pasar atau pelatihan lanjutan.

Data Kementerian Desa per Agustus 2025 menunjukkan 1.500 desa telah meningkatkan pendapatan warga melalui koperasi. Hal ini membuktikan potensi solidaritas komunitas.

Efek domino pun tercipta. Warga seperti Fatimah memilih kemandirian demi kontrak MBG, sementara desanya mendapat dana untuk membangun pasar desa. Situasi ini mendorong lebih banyak warga menapaki tangga kesejahteraan.


Pendekatan ini menempatkan warga sebagai pengambil keputusan rasional.

Melalui portal khusus, mereka dapat mengajukan pencoretan sukarela dari data kemiskinan atau manfaat tangga sebelumnya, dengan verifikasi cepat dan gratis.

Penyuluhan desa dan kampanye digital menampilkan kisah-kisah sukses bahwa pendapatan Rp15 juta per bulan dari tangga ketiga dan keempat jauh lebih menarik daripada BLT.

Pemerintah daerah menyesuaikan program dengan kebutuhan lokal—misalnya pelatihan kopi di Aceh atau ikan di Maluku—untuk memastikan relevansi. Tantangannya adalah menjaga pelatihan berkualitas, akses pasar mudah, dan kredit terjangkau.

Satgas Graduasi Kemiskinan, yang dipimpin Kementerian Sosial, perlu memperkuat kolaborasi lintas sektor. Tujuannya untuk mendapatkan data lengkap program lintas K/L yang dapat dilekatkan dalam skema graduasi.

Pendekatan graduasi ini akan mengantarkan jutaan warga lulus dari kemiskinan. Bukan karena dipaksa, tetapi karena mereka rasional memilih masa depan yang lebih cerah dengan cara kolaboratif dan jauh dari ego sektoral.