
Hukum Buruk dan Kriminalisasi dalam Kasus Tom Lembong Ancam Perekonomian Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Hukum yang lemah, tidak adil, dan mudah diintervensi oleh kekuasaan politik, seperti yang terindikasi dalam kasus mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, berpotensi menimbulkan dampak negatif serius terhadap perekonomian Indonesia. Ekonom senior dan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menyoroti bahwa hukum merupakan pilar utama kepastian dalam dunia investasi dan bisnis. Ketidakpastian hukum akibat politisasi dan kriminalisasi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Kepastian hukum adalah prasyarat utama bagi investor, baik domestik maupun asing, untuk menanamkan modal. Hukum yang labil, tidak konsisten, atau rentan terhadap intervensi politik menciptakan risiko besar bagi pelaku bisnis.
“Jika sistem hukum tidak dapat menjamin kontrak, menyelesaikan sengketa secara adil, atau bebas dari campur tangan politik, investor akan enggan menanamkan modal karena risiko kerugian hingga kebangkrutan,” ujar Prof. Didik dalam pernyataannya kepada Beritabaru.co pada Sabtu (1/8/2025).
Hukum yang buruk juga memicu lonjakan biaya transaksi, yang menjadi hambatan utama dalam dunia bisnis. Prosedur hukum yang berbelit-belit, panjang, dan tidak jelas menambah beban usaha, baik dari segi waktu maupun biaya. “Biaya transaksi adalah setan buruk dalam ekonomi. Hukum yang tidak efisien membuat mekanisme penyelesaian sengketa menjadi mahal, sehingga investasi menjadi tidak kompetitif,” tegas Prof. Didik. Hal ini mengurangi daya saing Indonesia di mata investor global, yang lebih memilih negara dengan sistem hukum yang lebih andal dan efisien.
Sistem hukum yang lemah dapat merusak efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Prof. Didik memperingatkan bahwa negara dengan hukum yang rapuh berisiko jatuh ke dalam jebakan “negara gagal” atau “negara predatoris,” di mana ekonomi hanya menjadi alat bagi elit kekuasaan untuk memperkaya diri. “Korupsi dan penyalahgunaan wewenang, seperti yang terlihat dalam kasus-kasus kriminalisasi, menghambat pembangunan ekonomi dan menurunkan kualitas kehidupan masyarakat,” tambahnya.
Kasus Tom Lembong, yang divonis 4,5 tahun penjara atas dugaan korupsi impor gula pada 2015-2016, menjadi sorotan karena indikasi kuat adanya intervensi politik. Banyak pihak, termasuk pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Assoc. Prof. M. Endriyo Susila, menilai vonis tersebut “mengguncang rasa keadilan publik” karena tidak adanya bukti niat jahat (mens rea) dan kerugian negara yang dihitung berdasarkan asumsi, bukan audit resmi.
Prof. Didik menegaskan bahwa praktik kriminalisasi seperti ini, yang diduga menargetkan lawan politik, mencerminkan warisan buruk dari era pemerintahan sebelumnya. “Prinsip ‘lebih baik membebaskan orang yang salah daripada menghukum orang yang benar’ telah dibuang. Hukum kini menjadi alat politik untuk menyingkirkan oposisi,” kritiknya.
Kriminalisasi hukum, seperti dalam kasus Tom Lembong, tidak hanya merugikan individu yang bersangkutan, tetapi juga melemahkan supremasi hukum di Indonesia. Ketika hukum dianggap sebagai alat kekuasaan, kepercayaan publik terhadap institusi hukum menurun, dan citra Indonesia di mata dunia internasional terdegradasi. “Lembaga internasional dapat menurunkan peringkat Indonesia, yang berdampak pada hubungan ekonomi dan politik dengan negara lain,” ujar pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansya
Prof. Didik menyerukan reformasi hukum yang lebih transparan dan independen untuk mengembalikan kepercayaan investor dan masyarakat. Tanpa perbaikan sistem hukum, Indonesia berisiko kehilangan peluang investasi, meningkatnya ketimpangan ekonomi, dan terhambatnya pembangunan nasional. Kasus Tom Lembong menjadi pengingat bahwa hukum yang buruk bukan hanya ancaman bagi keadilan, tetapi juga bagi stabilitas dan kemajuan ekonomi Indonesia.
Rctiplus.com
pewartanusantara.com
Jobnas.com
Serikatnews.com
Serdadu.id
Beritautama.co
kalbarsatu.id
surau.co
