
ICW Desak Polri Buka Dokumen Pengadaan Gas Air Mata Senilai Rp700 Miliar
Berita Baru, Jakarta – Sengketa informasi publik antara Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait dokumen pengadaan gas air mata senilai Rp700 miliar semakin memanas. Sidang lanjutan yang digelar pada Selasa, 10 Desember 2024, di Komisi Informasi Pusat (KIP) belum membuahkan hasil yang jelas. Polri tetap bersikukuh menutup akses terhadap dokumen yang dianggap ICW sebagai hak publik.
ICW dalam siaran persnya yang terbit pada Kamis (12/12/2024), meminta transparansi terhadap 25 jenis dokumen yang berkaitan dengan 10 kontrak pengadaan gas air mata. Permintaan ini mengacu pada Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik. Namun, hasil uji konsekuensi yang diserahkan Polri pada 24 November 2024 menyatakan bahwa semua informasi tersebut tertutup.
Polri berdalih bahwa dokumen tersebut termasuk dalam informasi yang dikecualikan sesuai Pasal 17 ayat c Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pasal tersebut menyebutkan bahwa informasi dapat dikecualikan jika berpotensi mengganggu pertahanan dan keamanan negara, termasuk strategi, intelijen, operasi, taktik, dan teknik.
Namun, ICW menilai alasan Polri keliru. “ICW tidak sedang meminta informasi mengenai strategi, intelijen, atau operasi kepolisian. Kami meminta transparansi atas pengadaan gas air mata yang menggunakan uang publik,” tegas Peneliti ICW, Dewi Anggraeni, dalam siaran pers yang diterbitkan Kamis (12/12/2024).
Lebih lanjut, ICW mengkritik langkah Polri yang mengaitkan pengadaan gas air mata dengan proses pengadaan senjata di negara lain seperti Amerika Serikat, Israel, Rusia, dan Tiongkok. “Alih-alih memperkuat argumen, Polri justru menunjukkan lemahnya pemahaman terkait esensi keterbukaan informasi publik,” ujar Dewi.
ICW juga menyoroti tindakan Polri yang melempar tanggung jawab kepada Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Polri mengklaim bahwa LKPP adalah pihak yang seharusnya bertanggung jawab membuka dokumen pengadaan tersebut. Namun, ICW mengingatkan bahwa Polri sebagai lembaga publik tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi permintaan informasi sesuai UU KIP.
“Publik berhak tahu bagaimana Polri menggunakan anggaran mereka, terutama dalam pengadaan alat yang kerap digunakan untuk menghadapi masyarakat sipil, seperti gas air mata,” tambah Dewi. Ia juga menegaskan bahwa dokumen pengadaan barang/jasa pemerintah seharusnya dapat diakses publik untuk memastikan adanya mekanisme check and balances.
ICW menyebutkan adanya temuan penting terkait kesalahan input dalam pengadaan alat “Pepper Projectiles Launcher” oleh Polri. “Kesalahan input ini menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan internal Polri. Tanpa pengawasan publik, akuntabilitas Polri semakin dipertanyakan,” ungkap Dewi.
Sebagai respons terhadap polemik ini, ICW mendesak Komisi Informasi Pusat (KIP) agar mengabulkan permohonan informasi yang diajukan ICW. Selain itu, ICW meminta Polri segera membuka dokumen pengadaan gas air mata senilai Rp700 miliar. “Transparansi adalah kunci untuk mewujudkan akuntabilitas. Polri seharusnya tidak menutup-nutupi informasi yang menjadi hak publik,” tutup Dewi. Sidang lanjutan kasus ini akan terus dipantau oleh ICW dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk memastikan Polri memenuhi kewajibannya terhadap prinsip keterbukaan informasi.
Rctiplus.com
pewartanusantara.com
Jobnas.com
Serikatnews.com
Serdadu.id
Beritautama.co
kalbarsatu.id
surau.co
