Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kritik Menguat, Tunjangan Rumah Dinas DPR Rp50 Juta Dinilai Layak Dibatalkan

Kritik Menguat, Tunjangan Rumah Dinas DPR Rp50 Juta Dinilai Layak Dibatalkan



Berita Baru, Jakarta – Rencana pemberian tunjangan rumah dinas sebesar Rp50 juta per bulan kepada anggota DPR menuai kritik tajam dari publik dan kelompok masyarakat sipil. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak berpihak pada rakyat dan justru berpotensi memperburuk ketimpangan sosial.

“Tunjangan rumah dengan angka sebesar itu mencerminkan ketimpangan yang semakin tajam antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Ini tidak selaras dengan kondisi ekonomi masyarakat yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar,” ujar Sekjen FITRA, Misbah Hasan, kepada media.

“Rasio Gini kita per Maret 2025 masih tinggi, yakni 0,375. Di perkotaan bahkan mencapai 0,395. Angka ini mencerminkan ketimpangan yang nyata. Menambah tunjangan DPR hanya akan memperburuk situasi ini, terutama di daerah urban,” tambahnya.

Ia juga menyoroti bahwa kebijakan ini sangat tidak sejalan dengan semangat efisiensi anggaran yang terus digaungkan pemerintah.

“Kebijakan ini juga bentuk pemborosan. Di saat pemerintah sedang mendorong efisiensi anggaran, DPR justru menuntut fasilitas yang tidak sesuai dengan urgensi masyarakat. Dana ini seharusnya bisa dialokasikan untuk mempercepat program 3 juta rumah layak huni bagi warga miskin,” tegas Misbah.

Lebih lanjut, FITRA menilai skema pemberian tunjangan dalam bentuk lumpsum tanpa kejelasan pelaporan berpotensi disalahgunakan.

“Yang jadi masalah juga adalah skema pemberiannya yang lumpsum dan tidak transparan. Tidak ada kewajiban pelaporan atau verifikasi penggunaan. Bisa jadi uang tersebut tidak digunakan untuk sewa rumah, dan ini sangat rentan disalahgunakan.”

Ia juga mempertanyakan urgensi pemberian tunjangan di tengah rendahnya kinerja DPR dalam menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan.

“Dengan kinerja legislatif dan pengawasan DPR yang belum optimal, pemberian tunjangan besar ini tidak masuk akal. Banyak fungsi pengawasan yang tidak menghasilkan dokumen atau output yang konkret. Prioritasnya sudah keliru.”

“Besarnya nilai tunjangan ini juga membuka potensi penyalahgunaan. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, ini bisa menjadi celah korupsi terselubung.”

Misbah menegaskan bahwa anggaran sebesar itu sebaiknya dialihkan untuk kepentingan yang lebih mendesak dan menyentuh langsung masyarakat.

“Dana sebesar itu lebih baik digunakan untuk program-program sosial yang benar-benar menyentuh kelompok miskin dan rentan, seperti perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Termasuk dalam hal pendidikan vokasi dan layanan kesehatan.”

“Kami juga mendorong agar anggaran tersebut dialihkan untuk mendukung pengadaan rumah layak huni bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, yang saat ini masih sangat terbatas.”

“Kalau memang ingin memperkuat peran DPR, sebaiknya anggaran digunakan untuk peningkatan kinerja legislatif, penganggaran, dan pengawasan melalui platform digital atau pemanfaatan kecerdasan buatan (AI), bukan untuk tunjangan pribadi.”

“Kalau DPR ingin mendapatkan kembali kepercayaan publik, mereka harus menunjukkan komitmen pada efisiensi, transparansi, dan keberpihakan kepada rakyat, bukan malah meminta hak-hak istimewa di tengah keterbatasan anggaran negara,” tutupnya.