Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini
Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini

Megawati Serukan Penghentian Buzzer Politik, Didik J Rachbini: Kritik Tajam untuk Praktek Demokrasi Era Jokowi



Jakarta, Berita Baru — Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, menyerukan agar Presiden terpilih Prabowo Subianto tidak lagi menggunakan buzzer dan relawan yang dinilai hanya menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Seruan tersebut disampaikan Megawati sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi demokrasi Indonesia yang dinilai mengalami kemunduran akibat penggunaan teknologi informasi secara tidak terkendali.

“Saya sudah bilang melalui seseorang supaya Pak Prabowo membuang itu namanya buzzer-buzzer yang hanya membuat perpecahan di antara kita sendiri, belum tentu faktanya saja,” ujar Megawati beberapa waktu lalu.

Pernyataan tersebut muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran atas kerusakan ruang publik politik, terutama akibat penggunaan buzzer politik yang tidak lagi menyuarakan aspirasi publik, melainkan diarahkan oleh kepentingan tertentu. Fenomena ini dianggap sebagai bagian dari degradasi demokrasi dalam satu dekade terakhir.

Ruang Publik yang Terkikis

Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menjelaskan fenomena ini melalui teori ekonomi politik “Tragedy of the Commons”. Ia menilai bahwa ruang publik, baik fisik maupun nonfisik, dapat mengalami kehancuran apabila digunakan secara berlebihan tanpa regulasi yang memadai.

“Demokrasi kita menghadapi bencana karena tidak adanya aturan dalam penggunaan ruang publik digital. Informasi masuk secara berlebihan dan tidak terkendali oleh mesin-mesin pencipta informasi, termasuk buzzer politik,” kata Didik.

Menurut Didik, sistem demokrasi mengalami kelelahan dan kerusakan kritis karena masuknya informasi yang tidak berasal dari suara hati rakyat, melainkan dari bot dan mesin kecerdasan buatan yang dijalankan oleh kelompok tertentu.

Kritik terhadap Pemerintahan Jokowi

Didik secara khusus menyoroti era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dinilainya telah menyuburkan praktik buzzer dalam politik. Ia menyebut bahwa relawan dan buzzer diposisikan sebagai aktor di luar sistem formal demokrasi—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—yang justru menimbulkan polarisasi.

“Negara telah memanfaatkan teknologi komunikasi untuk kepentingan politik sempit. Selama 10 tahun terakhir, buzzer dan relawan menjadi alat untuk membungkam demokrasi,” ujarnya.

Dampak Sosial dan Regulasi yang Absen

Kerusakan demokrasi ini juga diperparah oleh tidak adanya norma kolektif atau regulasi bersama yang dapat membatasi arus informasi yang membanjiri ruang publik. Media sosial menjadi arena politik yang tidak terkendali, menggeser fungsi ruang publik sebagai tempat partisipasi warga yang beradab.

“Media sosial yang digunakan secara liar oleh negara adalah bencana bagi kehidupan politik,” kata Didik. Ia menyebut bahwa revolusi teknologi komunikasi telah menembus batas-batas sosial yang sebelumnya dijaga oleh norma dan aturan, dan kini justru mempercepat degradasi tatanan sosial politik.

Ajakan untuk Memperbaiki Demokrasi

Didik menilai bahwa seruan Megawati perlu menjadi perhatian bagi pemerintahan baru. Ia menekankan pentingnya membangun kembali ekosistem demokrasi yang sehat, dengan membatasi praktik manipulatif yang bersumber dari teknologi informasi yang disalahgunakan.

“Anjuran Megawati sebagai politisi senior perlu diindahkan agar tidak ada lagi buzzer yang merusak demokrasi,” ujarnya.