
Menata Ulang Kemandirian Finansial NGO di Tengah Ketergantungan Donor

Zainul Abidin
Researcher Assosiate The Reform Initatives (TRI)
I. Pendahuluan : NGO dan Ilusi Keberlanjutan
Apakah NGO sedang membangun perubahan sosial, atau hanya menjalankan proyek donor?
Pertanyaan ini patut diajukan di tengah semakin besarnya peran organisasi non-pemerintah (NGO) dalam pembangunan sosial di Indonesia. Dalam dua tahun bekerja di sektor ini sebagai Media and Communication Officer, saya menyaksikan dari dekat dinamika yang kompleks antara idealisme, strategi program, dan realitas kelembagaan. Banyak NGO memosisikan diri sebagai garda depan perjuangan keadilan sosial, toleransi, dan pemberdayaan masyarakat. Namun, di balik retorika perubahan dan jargon pemberdayaan itu, tersimpan paradoks yang kerap diabaikan: lembaga yang memperjuangkan keadilan, sering kali belum adil terhadap dirinya sendiri.
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai generalisasi atau kebenaran mutlak. Saya sadar bahwa tidak semua NGO terjebak dalam pola tersebut. Ada lembaga yang berhasil membangun tata kelola yang transparan, menciptakan lingkungan kerja yang sehat, dan memastikan keberlanjutan program dengan mendorong pemerintah atau komunitas lokal mengambil alih inisiatif mereka. Namun, tak sedikit pula yang masih berhadapan dengan masalah serius di tingkat internal: beban kerja berlebih (overwork), ketimpangan upah (underpaid), penugasan di luar deskripsi pekerjaan, hingga absennya mekanisme sanksi yang jelas bagi pelanggaran etik dan profesionalitas di lingkungan kerja.
Situasi tersebut memperlihatkan bahwa ketidakadilan bisa muncul bahkan di ruang yang mengatasnamakan perjuangan keadilan. NGO yang idealnya menjadi model dari tata kelola etis, justru kerap beroperasi dengan sumber daya manusia yang rentan dan sistem kelembagaan yang rapuh. Dalam konteks seperti ini, isu keberlanjutan menjadi jauh lebih kompleks daripada sekadar kelanjutan program atau keberhasilan laporan proyek. Ia juga menyangkut keberlanjutan manusia dan sistem yang menopang nilai-nilai yang diklaim diperjuangkan.
Sebagian besar persoalan ini berakar dari model kerja berbasis proyek (project-based funding) yang menjadi tulang punggung ekosistem NGO di Indonesia. Siklusnya nyaris seragam: proposal–approval–implementation–report–closure. Selama kontrak berjalan, lembaga tampak aktif dan produktif; begitu proyek berakhir, aktivitas menyusut, pendanaan berhenti, dan banyak staf kontrak terpaksa berpindah lembaga. Dalam logika ini, keberlanjutan diukur berdasarkan dokumen, bukan keberlanjutan sosial atau kelembagaan.
Di sisi lain, istilah sustainability sering muncul sebagai jargon administratif dalam setiap proposal, tetapi jarang diterjemahkan menjadi strategi keuangan yang nyata. Banyak NGO berjuang mengubah masyarakat agar mandiri, namun dirinya sendiri terus bergantung pada siklus donor yang tidak pasti. Maka, paradoks ini menimbulkan pertanyaan lebih mendasar: bagaimana mungkin NGO memperjuangkan transformasi sosial jika ia sendiri tidak memiliki sistem yang berdaya dan berkelanjutan?
Refleksi ini berangkat dari keyakinan bahwa keberlanjutan program tidak akan tercapai tanpa keberlanjutan organisasi, dan keberlanjutan organisasi tidak akan kokoh tanpa keadilan di dalamnya. Oleh karena itu, NGO perlu menata ulang dua hal sekaligus: model keuangannya agar mandiri, dan sistem kelembagaannya agar adil. Kemandirian finansial dan integritas internal bukan hanya prasyarat etis, tetapi juga fondasi agar gerakan sosial tetap hidup bahkan setelah proyek berakhir.
II. Akar Masalah; Ketergantungan Donor dan Kerapuhan Struktural
Sebagian besar organisasi non-pemerintah di Indonesia beroperasi dalam sistem yang sangat bergantung pada skema pendanaan donor berbasis proyek (project-based funding). Model ini pada dasarnya membentuk relasi yang tidak seimbang antara lembaga pelaksana dan pemberi dana. Di satu sisi, NGO dituntut untuk terus menunjukkan hasil yang konkret, terukur, dan sesuai indikator donor. Di sisi lain, ruang bagi penguatan kelembagaan internal justru semakin sempit karena mayoritas anggaran dialokasikan untuk aktivitas program, bukan untuk stabilitas organisasi.
Akibatnya, banyak NGO beroperasi dalam ritme yang reaktif, bukan strategis. Setiap perubahan fokus donor misalnya dari isu demokrasi ke perubahan iklim, atau dari gender ke digitalisasi langsung diikuti oleh pergeseran prioritas program di lapangan. Hal ini melahirkan pola ketergantungan yang kronis, di mana keberlanjutan program bergantung pada keberlanjutan proyek, bukan pada kekuatan lembaga. Sementara itu, biaya kelembagaan yang seharusnya menopang keberlangsungan jangka panjang seperti riset internal, penguatan kapasitas staf, atau sistem tata kelola sering kali tidak memperoleh dukungan finansial yang memadai.
Krisis keberlanjutan ini diperparah oleh absennya skema core funding yang fleksibel. Banyak hibah hanya memperbolehkan penggunaan dana untuk kegiatan proyek tertentu, tetapi tidak untuk membangun sistem internal yang kuat. Dalam jangka panjang, situasi ini menciptakan struktur organisasi yang rapuh: lembaga yang tampak aktif secara programatik, tetapi sebenarnya rentan secara kelembagaan. NGO menjadi entitas yang “hidup dari laporan,” bukan dari fondasi institusional yang stabil.
Namun, persoalan keberlanjutan finansial hanyalah satu sisi dari kerapuhan yang lebih dalam. Di sisi lain, banyak NGO juga menghadapi persoalan keadilan internal. Tekanan untuk memenuhi target proyek sering kali berujung pada beban kerja berlebih (overwork), kompensasi yang tidak sepadan (underpaid), serta ketidakjelasan pembagian peran dan tanggung jawab di dalam organisasi. Dalam sejumlah kasus, sistem kelembagaan yang lemah tidak memiliki mekanisme sanksi yang efektif bagi pelanggaran etik atau profesionalitas staf. Akibatnya, persoalan internal sering kali diselesaikan secara informal tanpa transparansi, tanpa akuntabilitas, dan tanpa perlindungan bagi pihak yang dirugikan.
Kondisi ini menciptakan ironi moral yang menyakitkan: lembaga yang memperjuangkan keadilan sosial, kesetaraan gender, atau hak-hak pekerja di luar dirinya, justru belum sepenuhnya menegakkan nilai-nilai yang sama di dalam rumahnya sendiri. Ketidakadilan internal ini bukan hanya persoalan etika, tetapi juga persoalan keberlanjutan. Sebab lembaga yang tidak sehat secara struktural baik secara finansial maupun relasional tidak akan mampu menopang misi sosialnya dalam jangka panjang.
Dengan demikian, akar masalah yang dihadapi NGO hari ini bersifat ganda: ketergantungan finansial terhadap donor dan kerapuhan struktural dalam sistem kelembagaannya sendiri. Selama dua persoalan ini tidak disadari sebagai satu kesatuan, maka keberlanjutan akan tetap menjadi jargon administratif yang diulang dalam proposal, bukan realitas yang tumbuh dalam organisasi. Oleh karena itu, tantangan utama NGO di masa depan bukan lagi sekadar bagaimana mengakses lebih banyak dana, melainkan bagaimana membangun sistem kelembagaan yang mampu menopang dirinya sendiri secara etis, finansial, dan manusiawi.
III. Membangun NGO yang Mandiri dan Beretika
Kemandirian NGO tidak mungkin dicapai hanya dengan memperbanyak jumlah proposal atau mencari donor baru. Ia memerlukan cara berpikir yang berbeda tentang bagaimana lembaga dibiayai, dikelola, dan dipertanggungjawabkan. Dalam konteks inilah, transformasi kelembagaan menjadi penting yakni; perubahan yang tidak hanya berorientasi pada efektivitas program, tetapi juga pada keberlanjutan finansial dan integritas nilai.
Dua langkah strategis dapat menjadi fondasi awal bagi transformasi tersebut: pembangunan dana abadi (endowment fund) yang bersumber dari management fee dan dana sumbangan lain. Selain itu, perlu pengelolaan aset low-risk sebagai instrumen investasi etis yang menopang keberlanjutan lembaga. Kedua pendekatan ini bukan semata solusi teknis, tetapi upaya untuk mengembalikan kedaulatan NGO dalam menentukan arah dan keberlangsungan gerakannya.
1. Dana Abadi (Endowment Fund) dari Management Fee
Selama ini, management fee sering dipahami hanya sebagai biaya operasional lembaga yang dibebankan pada proyek. Padahal, porsi dana ini yang umumnya berkisar antara 5 hingga 10 persen dari total pendanaan sebenarnya dapat menjadi titik awal bagi pembangunan dana abadi kelembagaan. Melalui perencanaan yang cermat, sebagian kecil dari management fee dapat dialokasikan untuk membentuk Institutional Resilience Fund, yaitu dana cadangan yang berfungsi menjaga keberlangsungan organisasi di luar siklus proyek.
Dana abadi semacam ini bukan sekadar tabungan, melainkan strategi kedaulatan kelembagaan. Dengan dana yang dikelola secara transparan, lembaga dapat membiayai kebutuhan strategis yang biasanya tidak didukung oleh donor: pelatihan staf, riset kebijakan, pengembangan teknologi komunikasi, atau inisiatif eksperimental yang belum tentu “bankable” di mata pemberi hibah. Dalam jangka panjang, dana abadi memungkinkan NGO membiayai aktivitas advokasi secara independen tanpa harus menyesuaikan diri dengan agenda donor.
Untuk memastikan keberlanjutan dan legitimasi, pengelolaan dana abadi perlu dilakukan dengan tata kelola yang jelas: melibatkan dewan pengawas, laporan publik tahunan, serta mekanisme audit eksternal. Prinsip dasarnya bukan akumulasi keuntungan, melainkan menjaga daya hidup organisasi agar tetap dapat melayani publik ketika siklus pendanaan berhenti. Dengan cara ini, management fee tidak lagi hanya menjadi biaya administrasi, tetapi diubah menjadi investasi jangka panjang bagi masa depan kelembagaan.
2. Investasi Aset Low-Risk sebagai Instrumen Etis
Sebagian NGO mungkin menolak gagasan investasi karena dianggap bertentangan dengan prinsip sosial atau karena trauma terhadap praktik komersialisasi. Namun, investasi tidak selalu identik dengan orientasi keuntungan. Dalam konteks kelembagaan sosial, investasi dapat dipahami sebagai perluasan tanggung jawab moral terhadap keberlanjutan misi.
NGO dapat menempatkan sebagian dana cadangan atau hasil surplus proyek ke dalam instrumen keuangan berisiko rendah (low-risk asset), seperti reksadana pasar uang syariah, green bond, atau sukuk wakaf. Pilihan ini memungkinkan lembaga memperoleh hasil yang stabil tanpa mengorbankan prinsip etisnya. Bahkan, beberapa NGO di tingkat global telah mempraktikkan model “ethical investing,” di mana portofolio investasi hanya diarahkan pada instrumen yang sejalan dengan nilai kemanusiaan dan keberlanjutan lingkungan.
Di luar instrumen keuangan, investasi juga dapat berbentuk aset produktif sosial, misalnya pendirian training center, coworking space komunitas, percetakan, atau rumah data yang disewakan dengan biaya terjangkau. Aset-aset ini tidak hanya menghasilkan pemasukan lembaga, tetapi juga memperluas dampak sosialnya. Prinsip yang mendasari praktik ini adalah value preservation, bukan profit maximization mengelola modal untuk memperpanjang umur gerakan sosial, bukan memperkaya lembaga.
Konsep ini dapat dirangkum dalam gagasan “Peace Capital”: modal yang bekerja dalam kerangka nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan sosial. Modal yang tidak kehilangan moralitasnya ketika berputar di ruang ekonomi. Melalui pendekatan ini, NGO tidak hanya beradaptasi dengan logika finansial modern, tetapi juga menegaskan posisinya sebagai lembaga yang mampu mengelola sumber daya secara bertanggung jawab dan beretika.
Transformasi keuangan seperti ini tentu tidak sederhana. Ia menuntut perubahan budaya organisasi dari orientasi proyek ke orientasi kelembagaan, dari pengelolaan jangka pendek ke investasi jangka panjang, dari sekadar pelaporan ke akuntabilitas strategis. Namun, tanpa langkah berani semacam ini, NGO akan terus terjebak dalam siklus ketergantungan yang melelahkan: sibuk menyelamatkan program, tetapi perlahan kehilangan daya hidup organisasinya sendiri.
IV. Menata Ulang Nilai Kelembagaan
Transformasi keuangan tidak akan bermakna tanpa transformasi nilai. Banyak lembaga sosial tumbuh dari idealisme, tetapi gagal menurunkannya ke dalam sistem kerja yang adil dan transparan. Padahal, keberlanjutan sejati bukan hanya tentang kelangsungan dana dan proyek, melainkan juga tentang keberlanjutan nilai yang dijalankan secara konsisten di dalam tubuh organisasi itu sendiri.
Isu keadilan internal di sektor NGO adalah ironi yang jarang dibicarakan secara terbuka. Lembaga yang mengusung misi keadilan sosial dan pemberdayaan kerap dihadapkan pada realitas internal yang tidak sejalan dengan nilai-nilainya: beban kerja berlebih tanpa kompensasi yang sepadan, kontrak kerja yang tidak pasti, hingga relasi kuasa yang kabur antara manajemen dan staf lapangan. Dalam beberapa kasus, absennya mekanisme sanksi terhadap pelanggaran etik atau perilaku tidak profesional menandakan lemahnya sistem tata kelola kelembagaan.
Ketimpangan ini bukan sekadar persoalan manajemen, tetapi persoalan moral. NGO seharusnya menjadi contoh praktik kerja yang menjunjung prinsip kesetaraan, keadilan, dan partisipasi bukan sekadar memperjuangkannya di luar. Namun selama nilai-nilai tersebut tidak terinstitusionalisasi ke dalam struktur organisasi, keadilan yang diperjuangkan akan berhenti pada level wacana. Dengan kata lain, sebuah lembaga tidak bisa mengajarkan demokrasi jika tata kelolanya sendiri tidak demokratis; tidak bisa mengadvokasi kesejahteraan jika para pekerjanya hidup dalam ketidakpastian ekonomi.
Untuk menata ulang nilai kelembagaan, NGO perlu memperlakukan etika bukan sebagai panduan perilaku, melainkan sebagai arsitektur kelembagaan. Etika harus memiliki bentuk struktural terintegrasi dalam sistem kerja, kebijakan remunerasi, dan mekanisme pengambilan keputusan. Beberapa langkah konkret yang dapat menjadi dasar reformasi antara lain:
- Sistem Remunerasi yang Proporsional dan Transparan.
Penyesuaian gaji dan tunjangan perlu didasarkan pada tanggung jawab, kinerja, dan keahlian, bukan pada posisi atau kedekatan dengan manajemen. Transparansi kompensasi dapat menjadi langkah awal membangun kepercayaan internal dan mengurangi kesenjangan struktural di dalam organisasi. - Keseimbangan Kerja dan Kehidupan (Work-Life Balance).
Lembaga yang mendorong kesejahteraan sosial tidak seharusnya mengabaikan kesejahteraan psikologis stafnya. Kebijakan jam kerja yang wajar, dukungan kesehatan mental, dan mekanisme cuti yang adil merupakan bentuk penghargaan terhadap manusia di balik program. - Mekanisme Etik dan Sanksi yang Tegas.
Kelembagaan yang beretika memerlukan sistem yang mampu menegakkan nilai secara konsisten. Artinya, setiap pelanggaran etik, baik dalam bentuk kekerasan verbal, penyalahgunaan wewenang, atau manipulasi laporan harus ditangani melalui prosedur yang transparan dan memiliki konsekuensi jelas. - Kepemimpinan yang Akuntabel.
Transformasi kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari perubahan gaya kepemimpinan. Pemimpin NGO harus mempraktikkan nilai partisipasi dan kolektivitas, memberi ruang bagi perbedaan pendapat, dan menjadikan evaluasi sebagai budaya, bukan ancaman.
Menata ulang nilai kelembagaan berarti memulihkan moralitas organisasi dari dalam. Dengan begitu, perubahan finansial yang telah diusulkan sebelumnya akan memiliki landasan etis yang kokoh. Sebab kemandirian finansial tanpa integritas kelembagaan hanya akan melahirkan bentuk baru dari ketimpangan: lembaga yang kaya secara dana, tetapi miskin secara nilai.
Pada akhirnya, NGO harus menyadari bahwa keberlanjutan sosial tidak dapat dibangun di atas pondasi ketidakadilan internal. Gerakan yang ingin menciptakan dunia yang lebih setara harus terlebih dahulu menegakkan kesetaraan di ruang kerjanya sendiri. Reformasi nilai dan sistem ini bukan sekadar tuntutan moral, melainkan strategi keberlanjutan jangka panjang yang menjamin integritas, kepercayaan publik, dan daya hidup gerakan masyarakat sipil.
Kesimpulan
Keberlanjutan program sosial tidak dapat dibangun di atas lembaga yang rapuh. Selama NGO masih bergantung penuh pada donor dan mengabaikan keadilan di dalam sistemnya sendiri, maka seluruh upaya pemberdayaan yang dilakukan hanya akan bersifat temporer. Gerakan sosial yang bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan membutuhkan kelembagaan yang tidak hanya hidup dari proyek, tetapi juga memiliki fondasi finansial dan moral yang kuat.
Kemandirian finansial dan keadilan kelembagaan harus dipandang sebagai dua sisi dari satu koin. Kemandirian tanpa keadilan berisiko melahirkan lembaga yang efisien secara teknis tetapi kehilangan jiwa sosialnya. Sebaliknya, keadilan tanpa kemandirian finansial hanya akan menghasilkan idealisme yang mudah goyah di hadapan realitas pendanaan. Keduanya saling menopang, membentuk dasar bagi NGO yang mampu bertahan sekaligus tetap setia pada nilai-nilainya.
Untuk mencapai hal itu, NGO perlu menata ulang paradigma keberlanjutan. Keberlanjutan bukan sekadar memperpanjang umur proyek, melainkan menumbuhkan sistem yang mampu menopang manusia, nilai, dan struktur yang membentuk organisasi itu sendiri. Di sinilah arti penting dana abadi, investasi etis, dan reformasi tata kelola kelembagaan. Ketiganya merupakan instrumen untuk memastikan agar gerakan sosial dapat terus berjalan meskipun proyek telah selesai, dan agar nilai-nilai yang diperjuangkan di luar juga dihidupi di dalam.
Transformasi ini menuntut keberanian. Ia menantang kenyamanan yang selama ini dianggap wajar bahwa ketergantungan pada donor adalah hal yang tidak terelakkan, atau bahwa ketimpangan di dalam lembaga dapat dimaafkan demi tujuan yang lebih besar. Justru di titik ini, integritas NGO diuji: apakah ia berani memperjuangkan keadilan tanpa terkecuali, termasuk di dalam ruang kerjanya sendiri.
Pada akhirnya, masa depan NGO bergantung pada kemampuannya menegakkan dua hal secara bersamaan: berdaulat secara finansial dan berkeadilan secara kelembagaan. Hanya dengan cara itulah organisasi masyarakat sipil dapat berdiri tegak sebagai penopang perubahan sosial yang berkelanjutan tidak sekadar menjadi pelaksana proyek, tetapi pelaku sejarah yang menjaga nilai kemanusiaan melampaui batas waktu dan pendanaan.
Rctiplus.com
pewartanusantara.com
Jobnas.com
Serikatnews.com
Serdadu.id
Beritautama.co
kalbarsatu.id
surau.co
