OPINI – Beritabaru.co Tuban https://tuban.beritabaru.co Meluruskan Distorsi Informasi Mon, 31 Jul 2023 14:45:19 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.7.1 https://tuban.beritabaru.co/wp-content/uploads/sites/7/2020/02/cropped-Berita-Baru-Icon-1-32x32.png OPINI – Beritabaru.co Tuban https://tuban.beritabaru.co 32 32 Tantangan Pemasaran Digital di Era Dinamis https://tuban.beritabaru.co/tantangan-pemasaran-digital-di-era-dinamis/ https://tuban.beritabaru.co/tantangan-pemasaran-digital-di-era-dinamis/#respond Mon, 31 Jul 2023 14:45:16 +0000 https://tuban.beritabaru.co/?p=83356 Tantangan Pemasaran Digital di Era Dinamis

Berita Baru, Tuban - Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi dan internet telah membawa revolusi besar dalam cara bisnis melakukan pemasaran. Era pemasaran digital telah tiba, dan semakin banyak bisnis yang beralih dari metode tradisional ke strategi digital untuk mencapai target pasar yang lebih luas dan beragam.

Pemasaran digital menawarkan berbagai keuntungan, seperti jangkauan yang lebih luas, targeting yang lebih akurat, dan keterukuran yang lebih baik. Namun, dengan peluang besar ini juga datang tantangan besar yang harus diatasi oleh bisnis agar dapat bersaing secara efektif dalam lingkungan yang dinamis ini.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh bisnis dalam era pemasaran digital adalah persaingan yang semakin sengit di dunia digital. Dengan mudahnya akses ke platform online, setiap bisnis berusaha untuk menarik perhatian konsumen yang semakin selektif. Saat ini, konsumen memiliki beragam pilihan dan informasi yang melimpah di ujung jari mereka.

Dalam situasi ini, penting bagi setiap bisnis untuk mencari cara untuk membedakan diri dari kompetitor dan menonjolkan keunikan produk atau layanan yang mereka tawarkan dan kemudian mengkomunikasikannya dengan jelas dan kreatif melalui platform digital.

Komunikasi yang efektif dan menarik dapat menjadi kunci untuk menarik perhatian konsumen dan membangun kesan yang positif tentang merek dan produk atau layanan yang ditawarkan. Konten yang disajikan oleh bisnis juga memiliki peran penting dalam menarik perhatian calon konsumen.

Konten pemasaran yang menarik, bermanfaat, dan relevan akan menjadi daya tarik bagi konsumen untuk lebih mendalami tentang produk atau layanan tersebut. Bisnis harus menyusun strategi konten yang sesuai dengan kebutuhan dan minat target pasar, sehingga calon konsumen merasa bahwa mereka mendapatkan nilai tambah dari interaksi dengan merek tersebut.

Selain itu, adaptasi dan responsif terhadap perubahan juga menjadi tantangan krusial dalam era pemasaran digital yang terus berkembang. Dalam dunia digital yang dinamis, tren pemasaran dapat berubah dengan cepat, dan perubahan algoritma platform sosial seringkali dapat mempengaruhi cara bisnis berinteraksi dengan audiens mereka. Tak hanya itu, preferensi konsumen juga dapat berubah dari waktu ke waktu karena perubahan tren, preferensi pribadi, atau bahkan peristiwa global.

Penting bagi bisnis untuk memiliki fleksibilitas dan ketanggapan yang tinggi dalam menghadapi perubahan-pertimbangan ini. Bisnis yang enggan untuk beradaptasi dapat dengan mudah tertinggal dan kehilangan peluang berharga untuk mencapai target pasar. Ketidakmampuan untuk mengikuti tren pemasaran terbaru atau merespons perubahan preferensi konsumen bisa menyebabkan penurunan daya saing dan berpotensi mengakibatkan penurunan penjualan.

Agar dapat bersaing secara efektif, bisnis harus tetap waspada terhadap perkembangan dan tren di dunia digital. Mereka harus selalu memantau perubahan dalam perilaku konsumen, memahami bagaimana algoritma platform sosial bekerja, dan mengikuti perkembangan teknologi terbaru. Penting juga bagi bisnis untuk mengambil langkah-langkah proaktif, bukan hanya bereaksi terhadap perubahan yang terjadi.

Strategi pemasaran perlu diperbarui secara berkala sesuai dengan perubahan yang terjadi. Riset pasar yang cermat, analisis data yang akurat, dan mendengarkan umpan balik konsumen adalah cara untuk tetap mengetahui apa yang diinginkan oleh audiens dan bagaimana mereka berinteraksi dengan merek. Bisnis perlu terus beradaptasi dan berinovasi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berubah.

Dalam menghadapi persaingan yang ketat, membedakan diri dari pesaing menjadi sangat penting. Pemanfaatan teknologi terkini dan berbagai platform digital menjadi landasan bagi bisnis untuk mengikuti tren yang berkembang. (Nur Hidayatul Istiqomah, S.E., M.M).

]]>
Tantangan Pemasaran Digital di Era Dinamis

Berita Baru, Tuban - Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi dan internet telah membawa revolusi besar dalam cara bisnis melakukan pemasaran. Era pemasaran digital telah tiba, dan semakin banyak bisnis yang beralih dari metode tradisional ke strategi digital untuk mencapai target pasar yang lebih luas dan beragam.

Pemasaran digital menawarkan berbagai keuntungan, seperti jangkauan yang lebih luas, targeting yang lebih akurat, dan keterukuran yang lebih baik. Namun, dengan peluang besar ini juga datang tantangan besar yang harus diatasi oleh bisnis agar dapat bersaing secara efektif dalam lingkungan yang dinamis ini.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh bisnis dalam era pemasaran digital adalah persaingan yang semakin sengit di dunia digital. Dengan mudahnya akses ke platform online, setiap bisnis berusaha untuk menarik perhatian konsumen yang semakin selektif. Saat ini, konsumen memiliki beragam pilihan dan informasi yang melimpah di ujung jari mereka.

Dalam situasi ini, penting bagi setiap bisnis untuk mencari cara untuk membedakan diri dari kompetitor dan menonjolkan keunikan produk atau layanan yang mereka tawarkan dan kemudian mengkomunikasikannya dengan jelas dan kreatif melalui platform digital.

Komunikasi yang efektif dan menarik dapat menjadi kunci untuk menarik perhatian konsumen dan membangun kesan yang positif tentang merek dan produk atau layanan yang ditawarkan. Konten yang disajikan oleh bisnis juga memiliki peran penting dalam menarik perhatian calon konsumen.

Konten pemasaran yang menarik, bermanfaat, dan relevan akan menjadi daya tarik bagi konsumen untuk lebih mendalami tentang produk atau layanan tersebut. Bisnis harus menyusun strategi konten yang sesuai dengan kebutuhan dan minat target pasar, sehingga calon konsumen merasa bahwa mereka mendapatkan nilai tambah dari interaksi dengan merek tersebut.

Selain itu, adaptasi dan responsif terhadap perubahan juga menjadi tantangan krusial dalam era pemasaran digital yang terus berkembang. Dalam dunia digital yang dinamis, tren pemasaran dapat berubah dengan cepat, dan perubahan algoritma platform sosial seringkali dapat mempengaruhi cara bisnis berinteraksi dengan audiens mereka. Tak hanya itu, preferensi konsumen juga dapat berubah dari waktu ke waktu karena perubahan tren, preferensi pribadi, atau bahkan peristiwa global.

Penting bagi bisnis untuk memiliki fleksibilitas dan ketanggapan yang tinggi dalam menghadapi perubahan-pertimbangan ini. Bisnis yang enggan untuk beradaptasi dapat dengan mudah tertinggal dan kehilangan peluang berharga untuk mencapai target pasar. Ketidakmampuan untuk mengikuti tren pemasaran terbaru atau merespons perubahan preferensi konsumen bisa menyebabkan penurunan daya saing dan berpotensi mengakibatkan penurunan penjualan.

Agar dapat bersaing secara efektif, bisnis harus tetap waspada terhadap perkembangan dan tren di dunia digital. Mereka harus selalu memantau perubahan dalam perilaku konsumen, memahami bagaimana algoritma platform sosial bekerja, dan mengikuti perkembangan teknologi terbaru. Penting juga bagi bisnis untuk mengambil langkah-langkah proaktif, bukan hanya bereaksi terhadap perubahan yang terjadi.

Strategi pemasaran perlu diperbarui secara berkala sesuai dengan perubahan yang terjadi. Riset pasar yang cermat, analisis data yang akurat, dan mendengarkan umpan balik konsumen adalah cara untuk tetap mengetahui apa yang diinginkan oleh audiens dan bagaimana mereka berinteraksi dengan merek. Bisnis perlu terus beradaptasi dan berinovasi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berubah.

Dalam menghadapi persaingan yang ketat, membedakan diri dari pesaing menjadi sangat penting. Pemanfaatan teknologi terkini dan berbagai platform digital menjadi landasan bagi bisnis untuk mengikuti tren yang berkembang. (Nur Hidayatul Istiqomah, S.E., M.M).

]]>
https://tuban.beritabaru.co/tantangan-pemasaran-digital-di-era-dinamis/feed/ 0 https://tuban.beritabaru.co/wp-content/uploads/sites/7/2023/07/Untitled-design-300x300.png
Warisan Mahbub untuk Indonesia dan Gelar Kepahlawanan https://tuban.beritabaru.co/ahmad-zairudin-warisan-mahbub-untuk-indonesia-dan-gelar-kepahlawanan/ https://tuban.beritabaru.co/ahmad-zairudin-warisan-mahbub-untuk-indonesia-dan-gelar-kepahlawanan/#respond Mon, 12 Dec 2022 09:34:19 +0000 https://tuban.beritabaru.co/?p=82710 Warisan Mahbub untuk Indonesia dan Gelar Kepahlawanan

Berita Baru, Tuban - Kurang lebih 27 tahun yang lalu Mahbub Djunaidi Meninggalkan kita, walaupun telah tiada, namun tokoh yang terkenal dengan kritiknya yang sangat tajam kepada pemerintah ini meningggalkan banyak sekali warisan untuk indonesia yang tidak boleh dilupakan.

Bagi kader PMII Mahbub merupakan tokoh yang mampu menancapkan panji-panji gerakan, sehingga organisasi ini dapat bertahan sampai detik ini. Tidak salah kiranya ketika ke 13 deklarator berdirinya PMII pada tahun 1960 an mempercayakan ketua Umum Pertama organisasi ini kepada Mahbub. Atas kepiawaain mahbub pula, PMII menjadi salah satu organisasi kepemudaan terbesar di indonesia yang eksistensinya tetap diakui sampai sekarang.

Kontribusi Mahbub kepada PMII sangatlah besar, Diantara kontribusi yang sangat menonjol lagu mars PMII, lagu ini diciptakan langsung olehnya untuk menempa jiwa dan semangat Mahasiswa (khususnya kader PMII)“Inilah kami wahai Indonesia Satu barisan dan satu cita Pembela bangsa, penegak agama Tangan terkepal dan maju kemuka” penggalan bait mars PMII karangan Mahbud Djunaidi ini sering dikumandangkan ketika aksi demontrasi atau mahasiwa turun kejalan. Lagu ini biasanya disandingkan dengan lagu – lagu perjuangan lainnya seperti, Darah Juang, Buruh Tani, Berderap dan Melaju.

Harus diakui kepemimpinan Mahbub dalam mengembangkan PMII untuk menjadi organisasi besar dan disegani terbukti sejak pertama kali dia mendapat mandat menahkodai organisasi yang di inisiasi oleh pentolan – pentolan IPNU se indonesia ini. Dia terus gerilya dari kota- ke kota, dari daerah ke daerah untuk mendirikan cabang – cabang PMII di setiap Wilayah, sehingga saat kongres pertama PMII tahun 1961 telah dihadiri perwakilan 13 cabang PMII dan pada kongres berikutnya (kongres ke II PMII) yang dilaksanakan di yogyakarta mengalami perkembangan yang cukup significan dengan dihadiri 31 cabang dan 18 cabang baru PMII se Indonesia. Capaian hebat ini tentu tidak bisa dijangkau, apabila mahbub tidak bisa memainkan perannya sebagai seorang Leader Organsasi yang berpengaruh, apalagi PMII pada tahun yang 1960 – 1966 masih tergolong sebagai organisasi baru, dibandingkan dengan HMI 1947 an,GMKI 1950 an, PMKRI 1947 an dan GMNI 1950. yang kelahiranya lebih awal. Mahbub tercatat dan dipercaya pemimpin tertinggi di tubuh PMII selama dua periode yakni periode pertama 1960-1963 dan periode kedua 1963-1966. Hingga saat ini PMII di seluruh Indonesia sudah memiliki 228 Pengurus Cabang (PC) dan 28 Pengurus Koordinator Cabang (PKC) definitif.

Mahbub tidak hanya piawai dalam menahkodai sebuah organisasi, dia juga sangat lihai dalam mengkader, sekitar tahun 1966 an kepemimpinan Mahbub di PMII digantikan oleh Zamroni, ditangan zamroni inilah perkembangan dan kemajuan PMII sangatlah pesat, bukan hanya itu saja, zamroni juga tercatat sebagai tokoh dibalik lahirnya kesatuan Aksi mahasiswa Indonesia (KAMI) dan tercatat sebagai presedium organisari tersebut. Walaupun usia KAMI tergolong singkat hanya 4 bulan, namun mampu menyuarakan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yang isinya, Pembubaran PKI dan Anteknya, membubarkan dan merombak kabinet Dwikora, menurunkan harga kebutuhan pokok.

Sepak terjang heroisme Zamroni tentu tidak bisa dilepaskan dari mentornya yaitu Mahbub Djunaidi dan organisasi PMII yang di embannya, sehingga PMII dan Zamroni cukup disegani di mata Para Aktifis lainnya seperti Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, Abdul Ghofur, dan dafid Napitupu (mengenal KAMI - tempo.co).

PMII sebagai salah satu Warisan dari perjuangan Mahbub untuk generasi bangsa indonesia. Pokok-pokok pikirannya yang dituangkan kedalam tubuh PMII melalui sistem pengkaderan Mapaba, PKD, PKL dan PKN telah mampu melahirkan ribuan kader pemimpin bangsa yang tersebar disemua lini lembaga negara indonesia. Mahbub pernah berucab bahwa PMII merupakan alat perjuangan, sedang berpolitik adalah untuk mengamalkan ilmu pengetahuan dalam perjuangan mengabdikan diri pada agama, bangsa, dan negara.

Mahbub, PWI dan Kewartawanannya

Insan pers Indonesia tidak boleh melupakan sosok Mahbub Djunaidi yang pernah dua kali memimpin organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tercatat Mahbub sebagai Ketua Umum PWI melalui Kongres XIII PWI, 17-22 Juni 1968 di Banjarmasin, (masa bakti 1968-1970) dan terpilih kembali untuk kedua kalinya pada Kongres XII PWI, 4-7 November 1965 di Jakarta (masa bakti 1965-1968) Periode kedua ini mahbub didampingi Sekertaris Jenderal Jakob Oetama, pendiri Majalah Tempo. (pwi.or.id).

Mahbub terjun ke dunia jurnalistik sekitar tahun 1958 mengisi Harian Duta dan menjadi Pemimpin Redaksinya pada tahun 1960-1970. Dalam menuangkan tulisannya, Mahbub memiliki gaya tulisan khas, yaitu sangat ringan tetapi memuat kritik tajam terhadap persoalan serius yang dituangkan secara satire. Apalagi menyangkut persoalan rakyat kecil, menyuarakan kebenaran dan membela wong cilik, dia sangat berani melakukan kritikan yang tajam melalui tulisannya kepada pemerintah saat itu. Tidak heran kalau Mabhub sampai dijuluki "Si burung parkit di kandang macan", Dan Pendekar Pena. kritik mahbub kepada pemerintah semata-mata untuk mengingatkan pemerintah akan tanggung jawabnya memimpin bangsa dan negara dan memperhatikan rakyat kecil yang sedang kesulitan. Dunia jurnalistik (PWI) adalah alat perjuangannya.

Bukti lainnya akan nasionalime Mahbub kepada bangsa dan bahasa indonesia ditunjukkan saat sebagai utusan PWI menghadiri event kewartawanan di Vietnam, sebagai seorang jurnalis Mahbub sangat fasih berbahasa Inggris namun dia tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi di antara bahasa lain yang digunakan dalam forum itu.

Sebagai seorang kolumnis saya masih meyakini bahwa Sosok Mahbud Djunaidi tetap berada di relung dan hati para kader wartawan Indonesia, tulisan dan karya-karyanya yang hingga saat masih menjadi rujukan banyak penulis tanah air. Sulit sebenarnya menemukan tokoh sekomplit dan sekaliber Mahbub ini. Menurut Gusdur, “ Mahbub Merupakan tokoh gerakan, pejuang ideologi, jurnalis. Aset perjuangan mahbub cukup besar untuk bangsa ini, dia mampu memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan rakyat kekinian dan dimasa yang akan datang.

Selain menjadi tokoh sentral PMII dan PWI, Mahbub juga dikenal sebagai tokoh dibalik terciptanya Mars GP Ansor. Mars ini disinyalir sebagai pengobar semangat para kader Ansor Banser. Dan selanjutnya Menghibahkan perjuangannya di NU.

Pahlawan Nasional untuk Mahbub

Inisiasi gelar pahlawan Nasional selalu di dengungkan oleh para kader PMII, terbaru digelorakan oleh PKC PMII jawa Timur. Ketika melihat rekam jejak perjalan dan kontribusi Mahbub untuk bangsa ini, kiranya sudah saatnya Mahbub Djunaidi dianugrahi Pahlawan nasional. Warisannya untuk bangsa indonesia melalui wadah pengkaderan di tubuh PMII, Gagasan besarnya yang digoreskan melalui tinta jurnalistik PWI, dan Kobaran api juang melalui Mars Ansor merupakan bukti sahih jejak warisan Mahbub untuk Bangsa Indonesia, dimana ketiga organisasi tersebut hingga saat ini masih menjadi benteng dan pilar Bangsa Indonesia yang akan terus menelurkan bibit tokoh bangsa.

Menurut UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 4, Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia, berjuang melawan penjajahan, dan gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Adapun persyaratan yang harus dipenuhi tertuang dalam Pasal 25 dan Pasal 26, diantaranya; Pernah memimpin perjuangan bersenjata atau politik atau bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa; Mengabdi dan berjuang hampir sepanjang hidupnya, Melahirkan gagasan besar untuk  pembangunan bangsa dan negara, Menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa, Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

Apa yang termaktub didalam UU No 20 tahun 2019 diatas kita rasa sudah terpenuhi semua untuk menggambarkan sosok Mahbub mendapatkan gelar pahlawan Nasional, Gelar pahlawan ini semata-mata diperjuangkan adalah untuk menghargai segala perjuangannya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Gelar pahlawan tersebut juga diharapkan mampu menjadi pelecut bagi anak bangsa serta meneladani sikap keberanian, kegigihan, keintelektualan dalam menyuarakan kebenaran dan pembelaan kepada kaum mustad afin (kaum Tertindas) dan menjadi pemompa bagi generasi muda untuk terus menerus dan berani menghibahkan jiwa dan raganya agar kemajuan bangsa dan negara dapat tercapai.


Penulis : Ahmad Zairudin
Ketua Umum PC PMII Surabaya (2013-2014)
IKA PMII, Pengurus Ansor dan Kolumnis
a.zairudin1988@gmail.com

]]>
Warisan Mahbub untuk Indonesia dan Gelar Kepahlawanan

Berita Baru, Tuban - Kurang lebih 27 tahun yang lalu Mahbub Djunaidi Meninggalkan kita, walaupun telah tiada, namun tokoh yang terkenal dengan kritiknya yang sangat tajam kepada pemerintah ini meningggalkan banyak sekali warisan untuk indonesia yang tidak boleh dilupakan.

Bagi kader PMII Mahbub merupakan tokoh yang mampu menancapkan panji-panji gerakan, sehingga organisasi ini dapat bertahan sampai detik ini. Tidak salah kiranya ketika ke 13 deklarator berdirinya PMII pada tahun 1960 an mempercayakan ketua Umum Pertama organisasi ini kepada Mahbub. Atas kepiawaain mahbub pula, PMII menjadi salah satu organisasi kepemudaan terbesar di indonesia yang eksistensinya tetap diakui sampai sekarang.

Kontribusi Mahbub kepada PMII sangatlah besar, Diantara kontribusi yang sangat menonjol lagu mars PMII, lagu ini diciptakan langsung olehnya untuk menempa jiwa dan semangat Mahasiswa (khususnya kader PMII)“Inilah kami wahai Indonesia Satu barisan dan satu cita Pembela bangsa, penegak agama Tangan terkepal dan maju kemuka” penggalan bait mars PMII karangan Mahbud Djunaidi ini sering dikumandangkan ketika aksi demontrasi atau mahasiwa turun kejalan. Lagu ini biasanya disandingkan dengan lagu – lagu perjuangan lainnya seperti, Darah Juang, Buruh Tani, Berderap dan Melaju.

Harus diakui kepemimpinan Mahbub dalam mengembangkan PMII untuk menjadi organisasi besar dan disegani terbukti sejak pertama kali dia mendapat mandat menahkodai organisasi yang di inisiasi oleh pentolan – pentolan IPNU se indonesia ini. Dia terus gerilya dari kota- ke kota, dari daerah ke daerah untuk mendirikan cabang – cabang PMII di setiap Wilayah, sehingga saat kongres pertama PMII tahun 1961 telah dihadiri perwakilan 13 cabang PMII dan pada kongres berikutnya (kongres ke II PMII) yang dilaksanakan di yogyakarta mengalami perkembangan yang cukup significan dengan dihadiri 31 cabang dan 18 cabang baru PMII se Indonesia. Capaian hebat ini tentu tidak bisa dijangkau, apabila mahbub tidak bisa memainkan perannya sebagai seorang Leader Organsasi yang berpengaruh, apalagi PMII pada tahun yang 1960 – 1966 masih tergolong sebagai organisasi baru, dibandingkan dengan HMI 1947 an,GMKI 1950 an, PMKRI 1947 an dan GMNI 1950. yang kelahiranya lebih awal. Mahbub tercatat dan dipercaya pemimpin tertinggi di tubuh PMII selama dua periode yakni periode pertama 1960-1963 dan periode kedua 1963-1966. Hingga saat ini PMII di seluruh Indonesia sudah memiliki 228 Pengurus Cabang (PC) dan 28 Pengurus Koordinator Cabang (PKC) definitif.

Mahbub tidak hanya piawai dalam menahkodai sebuah organisasi, dia juga sangat lihai dalam mengkader, sekitar tahun 1966 an kepemimpinan Mahbub di PMII digantikan oleh Zamroni, ditangan zamroni inilah perkembangan dan kemajuan PMII sangatlah pesat, bukan hanya itu saja, zamroni juga tercatat sebagai tokoh dibalik lahirnya kesatuan Aksi mahasiswa Indonesia (KAMI) dan tercatat sebagai presedium organisari tersebut. Walaupun usia KAMI tergolong singkat hanya 4 bulan, namun mampu menyuarakan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yang isinya, Pembubaran PKI dan Anteknya, membubarkan dan merombak kabinet Dwikora, menurunkan harga kebutuhan pokok.

Sepak terjang heroisme Zamroni tentu tidak bisa dilepaskan dari mentornya yaitu Mahbub Djunaidi dan organisasi PMII yang di embannya, sehingga PMII dan Zamroni cukup disegani di mata Para Aktifis lainnya seperti Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, Abdul Ghofur, dan dafid Napitupu (mengenal KAMI - tempo.co).

PMII sebagai salah satu Warisan dari perjuangan Mahbub untuk generasi bangsa indonesia. Pokok-pokok pikirannya yang dituangkan kedalam tubuh PMII melalui sistem pengkaderan Mapaba, PKD, PKL dan PKN telah mampu melahirkan ribuan kader pemimpin bangsa yang tersebar disemua lini lembaga negara indonesia. Mahbub pernah berucab bahwa PMII merupakan alat perjuangan, sedang berpolitik adalah untuk mengamalkan ilmu pengetahuan dalam perjuangan mengabdikan diri pada agama, bangsa, dan negara.

Mahbub, PWI dan Kewartawanannya

Insan pers Indonesia tidak boleh melupakan sosok Mahbub Djunaidi yang pernah dua kali memimpin organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tercatat Mahbub sebagai Ketua Umum PWI melalui Kongres XIII PWI, 17-22 Juni 1968 di Banjarmasin, (masa bakti 1968-1970) dan terpilih kembali untuk kedua kalinya pada Kongres XII PWI, 4-7 November 1965 di Jakarta (masa bakti 1965-1968) Periode kedua ini mahbub didampingi Sekertaris Jenderal Jakob Oetama, pendiri Majalah Tempo. (pwi.or.id).

Mahbub terjun ke dunia jurnalistik sekitar tahun 1958 mengisi Harian Duta dan menjadi Pemimpin Redaksinya pada tahun 1960-1970. Dalam menuangkan tulisannya, Mahbub memiliki gaya tulisan khas, yaitu sangat ringan tetapi memuat kritik tajam terhadap persoalan serius yang dituangkan secara satire. Apalagi menyangkut persoalan rakyat kecil, menyuarakan kebenaran dan membela wong cilik, dia sangat berani melakukan kritikan yang tajam melalui tulisannya kepada pemerintah saat itu. Tidak heran kalau Mabhub sampai dijuluki "Si burung parkit di kandang macan", Dan Pendekar Pena. kritik mahbub kepada pemerintah semata-mata untuk mengingatkan pemerintah akan tanggung jawabnya memimpin bangsa dan negara dan memperhatikan rakyat kecil yang sedang kesulitan. Dunia jurnalistik (PWI) adalah alat perjuangannya.

Bukti lainnya akan nasionalime Mahbub kepada bangsa dan bahasa indonesia ditunjukkan saat sebagai utusan PWI menghadiri event kewartawanan di Vietnam, sebagai seorang jurnalis Mahbub sangat fasih berbahasa Inggris namun dia tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi di antara bahasa lain yang digunakan dalam forum itu.

Sebagai seorang kolumnis saya masih meyakini bahwa Sosok Mahbud Djunaidi tetap berada di relung dan hati para kader wartawan Indonesia, tulisan dan karya-karyanya yang hingga saat masih menjadi rujukan banyak penulis tanah air. Sulit sebenarnya menemukan tokoh sekomplit dan sekaliber Mahbub ini. Menurut Gusdur, “ Mahbub Merupakan tokoh gerakan, pejuang ideologi, jurnalis. Aset perjuangan mahbub cukup besar untuk bangsa ini, dia mampu memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan rakyat kekinian dan dimasa yang akan datang.

Selain menjadi tokoh sentral PMII dan PWI, Mahbub juga dikenal sebagai tokoh dibalik terciptanya Mars GP Ansor. Mars ini disinyalir sebagai pengobar semangat para kader Ansor Banser. Dan selanjutnya Menghibahkan perjuangannya di NU.

Pahlawan Nasional untuk Mahbub

Inisiasi gelar pahlawan Nasional selalu di dengungkan oleh para kader PMII, terbaru digelorakan oleh PKC PMII jawa Timur. Ketika melihat rekam jejak perjalan dan kontribusi Mahbub untuk bangsa ini, kiranya sudah saatnya Mahbub Djunaidi dianugrahi Pahlawan nasional. Warisannya untuk bangsa indonesia melalui wadah pengkaderan di tubuh PMII, Gagasan besarnya yang digoreskan melalui tinta jurnalistik PWI, dan Kobaran api juang melalui Mars Ansor merupakan bukti sahih jejak warisan Mahbub untuk Bangsa Indonesia, dimana ketiga organisasi tersebut hingga saat ini masih menjadi benteng dan pilar Bangsa Indonesia yang akan terus menelurkan bibit tokoh bangsa.

Menurut UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 4, Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia, berjuang melawan penjajahan, dan gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Adapun persyaratan yang harus dipenuhi tertuang dalam Pasal 25 dan Pasal 26, diantaranya; Pernah memimpin perjuangan bersenjata atau politik atau bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa; Mengabdi dan berjuang hampir sepanjang hidupnya, Melahirkan gagasan besar untuk  pembangunan bangsa dan negara, Menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa, Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

Apa yang termaktub didalam UU No 20 tahun 2019 diatas kita rasa sudah terpenuhi semua untuk menggambarkan sosok Mahbub mendapatkan gelar pahlawan Nasional, Gelar pahlawan ini semata-mata diperjuangkan adalah untuk menghargai segala perjuangannya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Gelar pahlawan tersebut juga diharapkan mampu menjadi pelecut bagi anak bangsa serta meneladani sikap keberanian, kegigihan, keintelektualan dalam menyuarakan kebenaran dan pembelaan kepada kaum mustad afin (kaum Tertindas) dan menjadi pemompa bagi generasi muda untuk terus menerus dan berani menghibahkan jiwa dan raganya agar kemajuan bangsa dan negara dapat tercapai.


Penulis : Ahmad Zairudin
Ketua Umum PC PMII Surabaya (2013-2014)
IKA PMII, Pengurus Ansor dan Kolumnis
a.zairudin1988@gmail.com

]]>
https://tuban.beritabaru.co/ahmad-zairudin-warisan-mahbub-untuk-indonesia-dan-gelar-kepahlawanan/feed/ 0 https://tuban.beritabaru.co/wp-content/uploads/sites/7/2022/12/flyerdesign_09122022_194503-300x188.jpg
Bahaya Nitrogen Cair di Makanan, Bisa Menyebabkan Radang Dingin dan Luka Bakar https://tuban.beritabaru.co/bahaya-nitrogen-cair-di-makanan-bisa-menyebabkan-radang-dingin-dan-luka-bakar/ https://tuban.beritabaru.co/bahaya-nitrogen-cair-di-makanan-bisa-menyebabkan-radang-dingin-dan-luka-bakar/#respond Wed, 22 Jun 2022 04:16:52 +0000 https://tuban.beritabaru.co/?p=81618 Bahaya Nitrogen Cair di Makanan, Bisa Menyebabkan Radang Dingin dan Luka Bakar

Berita Baru, Tuban - Nitrogen cair atau liquid nitrogen adalah nitrogen yang berada dalam keadaan cair pada suhu yang sangat rendah, dengan titik didih -195,79 °C atau - 320 °F. Nitrogen cair merupakan unsur kimia yang tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak berasa.

Sehingga berbahaya jika makanan yang di campur dengan nitrogen cair tersebut dikonsumsi oleh manusia karena bisa menyebabkan radang dingin dan luka bakar. Tapi bahan ini masih banyak banget digunakan dalam proses pembuatan makanan.

Dilansir dari artikel www.brainacademy.id, ide menggunakan nitrogen cair untuk memproses makanan berangkat dari populernya konsep molecular gastronomy, atau teknik membuat makanan yang menggabungkan ilmu fisika dengan ilmu kimia. Sehingga banyak bermunculan restoran yang mengusung konsep itu.

Pada umumnya nitrogen cair biasa digunakan untuk membekukan es krim karena proses pembekuan terjadi lebih cepat dan membuat es krim menjadi lebih lembut. Suhu nitrogen cair yang dingin juga membantu membekukan makanan untuk mempertahankan kesegarannya.

Untuk diketahui bahwa nitrogen cair sangat dingin, sehingga perlu langkah-langkah yang tepat jika ingin menggunakannya. Nitrogen cair bisa menyebabkan radang dingin dan luka bakar, terutama pada beberapa jaringan lunak, seperti kulit.

Jadi, ketika kalian ingin mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung nitrogen cair, sebaiknya menunggu hingga semua cairan menguap. Jangan sampai tertelan karena sangat berbahaya bagi lambung dan usus kita. 

Selain itu, menghirup terlalu banyak uap yang dihasilkan oleh makanan atau minuman yang diproses menggunakan nitrogen cair juga dapat memicu kesulitan bernapas yang cukup parah. Ini karena dalam 1 liter nitrogen cair akan menghasilkan kurang lebih 700 liter gas.

Hal ini semakin berbahaya jika dialami oleh penderita asma. Jadi bila tidak hati-hati, kalian bisa terluka ketika menyentuh dan mencernanya. 

Pemakaian nitrogen cair dalam perkembangan dunia kuliner, memang tak lepas dari keinginan untuk menarik perhatian masyarakat dan meningkatkan penjualan semata. Tak salah bila kalian termasuk orang yang tertarik dengan konsep dan olahan yang menggunakan bahan yang satu ini.

Namun, perlu diperhatikan bahwa jika dikonsumsi dengan sembarangan, atau dibeli dari restoran yang reputasinya tak jelas, ada bahaya terhadap kesehatan yang mengintai. Meskipun unik, hidangan yang mengandung nitrogen cair tetap berbahaya jika dikonsumsi berlebihan.

]]>
Bahaya Nitrogen Cair di Makanan, Bisa Menyebabkan Radang Dingin dan Luka Bakar

Berita Baru, Tuban - Nitrogen cair atau liquid nitrogen adalah nitrogen yang berada dalam keadaan cair pada suhu yang sangat rendah, dengan titik didih -195,79 °C atau - 320 °F. Nitrogen cair merupakan unsur kimia yang tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak berasa.

Sehingga berbahaya jika makanan yang di campur dengan nitrogen cair tersebut dikonsumsi oleh manusia karena bisa menyebabkan radang dingin dan luka bakar. Tapi bahan ini masih banyak banget digunakan dalam proses pembuatan makanan.

Dilansir dari artikel www.brainacademy.id, ide menggunakan nitrogen cair untuk memproses makanan berangkat dari populernya konsep molecular gastronomy, atau teknik membuat makanan yang menggabungkan ilmu fisika dengan ilmu kimia. Sehingga banyak bermunculan restoran yang mengusung konsep itu.

Pada umumnya nitrogen cair biasa digunakan untuk membekukan es krim karena proses pembekuan terjadi lebih cepat dan membuat es krim menjadi lebih lembut. Suhu nitrogen cair yang dingin juga membantu membekukan makanan untuk mempertahankan kesegarannya.

Untuk diketahui bahwa nitrogen cair sangat dingin, sehingga perlu langkah-langkah yang tepat jika ingin menggunakannya. Nitrogen cair bisa menyebabkan radang dingin dan luka bakar, terutama pada beberapa jaringan lunak, seperti kulit.

Jadi, ketika kalian ingin mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung nitrogen cair, sebaiknya menunggu hingga semua cairan menguap. Jangan sampai tertelan karena sangat berbahaya bagi lambung dan usus kita. 

Selain itu, menghirup terlalu banyak uap yang dihasilkan oleh makanan atau minuman yang diproses menggunakan nitrogen cair juga dapat memicu kesulitan bernapas yang cukup parah. Ini karena dalam 1 liter nitrogen cair akan menghasilkan kurang lebih 700 liter gas.

Hal ini semakin berbahaya jika dialami oleh penderita asma. Jadi bila tidak hati-hati, kalian bisa terluka ketika menyentuh dan mencernanya. 

Pemakaian nitrogen cair dalam perkembangan dunia kuliner, memang tak lepas dari keinginan untuk menarik perhatian masyarakat dan meningkatkan penjualan semata. Tak salah bila kalian termasuk orang yang tertarik dengan konsep dan olahan yang menggunakan bahan yang satu ini.

Namun, perlu diperhatikan bahwa jika dikonsumsi dengan sembarangan, atau dibeli dari restoran yang reputasinya tak jelas, ada bahaya terhadap kesehatan yang mengintai. Meskipun unik, hidangan yang mengandung nitrogen cair tetap berbahaya jika dikonsumsi berlebihan.

]]>
https://tuban.beritabaru.co/bahaya-nitrogen-cair-di-makanan-bisa-menyebabkan-radang-dingin-dan-luka-bakar/feed/ 0 https://tuban.beritabaru.co/wp-content/uploads/sites/7/2022/06/087994900_1536229853-Awas-Bahaya-Makanan-dengan-Nitrogen-Cair_-By-Manustart-Shutterstock-300x235.jpg
Khoirukum Mimmuaini Aktifis PMII: Personal Assessment Perempuan harus Berimpact Kepada Masyarakat Desa https://tuban.beritabaru.co/khoirukum-mimmuaini-aktifis-pmii-personal-assessment-perempuan-harus-berimpact-kepada-masyarakat-desa/ https://tuban.beritabaru.co/khoirukum-mimmuaini-aktifis-pmii-personal-assessment-perempuan-harus-berimpact-kepada-masyarakat-desa/#respond Tue, 22 Dec 2020 10:42:36 +0000 https://tuban.beritabaru.co/?p=2759 Khoirukum Mimmuaini Aktifis PMII: Personal Assessment Perempuan harus Berimpact Kepada Masyarakat Desa

Berita Baru, Tuban – Hari Ibu yang jatuh tanggal 22 Desember tahun ini, di mata Khoirukum mimmuaini terasa berbeda. Sebab adanya pandemi Covid-19 yang membatasi segala aktivis, serta hadirnya pemerintah untuk mendorong sosok perempuan untuk memiliki andil besar dalam tata kelola masyarakat, menjadi modal besar untuk meneguhkan eksistensi perempuan bukan hanya bualan.

Perempuan kelahiran 27 Februari 1999 tersebut, sangat mengapresiasi hadirnya Peraturan Presiden nomor 59 tahun 2017 sebagai dasar modal pembangunan nasional tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan atau SDGs (Sustainable Development Goals).

Sebab hal itu menghadirkan peluang bagi para perempuan untuk mengeksplor diri lebih lagi, menurutnya, ditambah hadirnya Permendes Nomor 13 tahun 2020 menegaskan bahwa Dana Desa (DD) tahun anggaran 2021 diprioritaskan untuk pencapaian SDGs Desa yang mengukur seluruh aspek pembangunan, sehingga mampu mewujudkan perkembangan manusia seutuhnya. Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Di Permendes itu, ada satu perwujudan program SDGs yaitu Keterlibatan Perempuan Desa,” tegasnya.

Aini sapaan akrabnya di kalangan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesis (PMII) Kabupaten Tuban menuturkan, jika impelentasi dari Program SDGs Keterlibatan Perempuan Desa nantinya akan memperkuat pembangunan desa ramah perempuan dan anak.

“Kita harus sadar betul, jika perempuan memiliki keterlibatan yang bisa berkontribusi lebih di desa, apalagi di era sekarang, perempuan yang berangkat dari desa mampu membuktikan dirinya di masyarakat dengan skill dan integritas diri,” jelasnya.

Perempuan yang baru menginjak 21 tahun ini, memberikan gambaran jika perempuan dalam konteks hari ini harus mengutamakan kompetensi diri, apalagi yang masih berproses dalam ruang lingkup dunia pendidikan dan organisasi pergerakan.

Menghadapi persaingan global ditambah tantangan digital, Aini mengangap semua itu harus dipersiapkan dengan keilmuan serta pemetaan potensi diri yang matang.

“Personal Assessment bagi mahasiswa apalagi perempuan harus menitik beratkan pada impact kepada masyarakat desa,” tuturnya.

Ia merasa, banyak Pekerjaan Rumah (PR) bagi mahasiswa perempuan untuk menegaskan diri sebagai simbol pemimpin masa depan baik di tingkatan Desa sampai Pemerintah Pusat harus memiliki modal lebih.

“Keterbukaan yang ada di Indonesia, baik pendidikan, hak bersuara, maupun yang lain. Harus kita tangkap peluang itu. Salah satunya dengan mengikuti organisasi sebagai wadah yang mengasah diri,” jelasnya.

Di akhir, perempuan yang memiliki hobi membaca dan berdiskusi ini mengajak untuk para generasi muda khususnya perempuan untuk tak lelah selalu berpogres dalam keilmuan.

“Sudah saatnya perempuan desa harus mandiri, kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi? Jadi di hari ibu tahun ini, menjadi bahan refleksi kita sebagai kaum perempuan yang nantinya menentukan arah bangsa, harus benar-benar konkrit melakukan perubahan,” tegasnya. (*)

]]>
Khoirukum Mimmuaini Aktifis PMII: Personal Assessment Perempuan harus Berimpact Kepada Masyarakat Desa

Berita Baru, Tuban – Hari Ibu yang jatuh tanggal 22 Desember tahun ini, di mata Khoirukum mimmuaini terasa berbeda. Sebab adanya pandemi Covid-19 yang membatasi segala aktivis, serta hadirnya pemerintah untuk mendorong sosok perempuan untuk memiliki andil besar dalam tata kelola masyarakat, menjadi modal besar untuk meneguhkan eksistensi perempuan bukan hanya bualan.

Perempuan kelahiran 27 Februari 1999 tersebut, sangat mengapresiasi hadirnya Peraturan Presiden nomor 59 tahun 2017 sebagai dasar modal pembangunan nasional tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan atau SDGs (Sustainable Development Goals).

Sebab hal itu menghadirkan peluang bagi para perempuan untuk mengeksplor diri lebih lagi, menurutnya, ditambah hadirnya Permendes Nomor 13 tahun 2020 menegaskan bahwa Dana Desa (DD) tahun anggaran 2021 diprioritaskan untuk pencapaian SDGs Desa yang mengukur seluruh aspek pembangunan, sehingga mampu mewujudkan perkembangan manusia seutuhnya. Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Di Permendes itu, ada satu perwujudan program SDGs yaitu Keterlibatan Perempuan Desa,” tegasnya.

Aini sapaan akrabnya di kalangan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesis (PMII) Kabupaten Tuban menuturkan, jika impelentasi dari Program SDGs Keterlibatan Perempuan Desa nantinya akan memperkuat pembangunan desa ramah perempuan dan anak.

“Kita harus sadar betul, jika perempuan memiliki keterlibatan yang bisa berkontribusi lebih di desa, apalagi di era sekarang, perempuan yang berangkat dari desa mampu membuktikan dirinya di masyarakat dengan skill dan integritas diri,” jelasnya.

Perempuan yang baru menginjak 21 tahun ini, memberikan gambaran jika perempuan dalam konteks hari ini harus mengutamakan kompetensi diri, apalagi yang masih berproses dalam ruang lingkup dunia pendidikan dan organisasi pergerakan.

Menghadapi persaingan global ditambah tantangan digital, Aini mengangap semua itu harus dipersiapkan dengan keilmuan serta pemetaan potensi diri yang matang.

“Personal Assessment bagi mahasiswa apalagi perempuan harus menitik beratkan pada impact kepada masyarakat desa,” tuturnya.

Ia merasa, banyak Pekerjaan Rumah (PR) bagi mahasiswa perempuan untuk menegaskan diri sebagai simbol pemimpin masa depan baik di tingkatan Desa sampai Pemerintah Pusat harus memiliki modal lebih.

“Keterbukaan yang ada di Indonesia, baik pendidikan, hak bersuara, maupun yang lain. Harus kita tangkap peluang itu. Salah satunya dengan mengikuti organisasi sebagai wadah yang mengasah diri,” jelasnya.

Di akhir, perempuan yang memiliki hobi membaca dan berdiskusi ini mengajak untuk para generasi muda khususnya perempuan untuk tak lelah selalu berpogres dalam keilmuan.

“Sudah saatnya perempuan desa harus mandiri, kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi? Jadi di hari ibu tahun ini, menjadi bahan refleksi kita sebagai kaum perempuan yang nantinya menentukan arah bangsa, harus benar-benar konkrit melakukan perubahan,” tegasnya. (*)

]]>
https://tuban.beritabaru.co/khoirukum-mimmuaini-aktifis-pmii-personal-assessment-perempuan-harus-berimpact-kepada-masyarakat-desa/feed/ 0 https://tuban.beritabaru.co/wp-content/uploads/sites/7/2020/12/WhatsApp-Image-2020-12-22-at-17.20.55-300x207.jpeg
Transformasi Ideologi Berbasis Nalar Kritis Literasi Mahasiswa NU https://tuban.beritabaru.co/transformasi-ideologi-berbasis-nalar-kritis-literasi-mahasiswa-nu/ https://tuban.beritabaru.co/transformasi-ideologi-berbasis-nalar-kritis-literasi-mahasiswa-nu/#respond Wed, 02 Dec 2020 16:37:12 +0000 https://tuban.beritabaru.co/?p=2527 Transformasi Ideologi Berbasis Nalar Kritis Literasi Mahasiswa NU

“Refleksi Buku Jejak Emas Fathul Huda Sang Pemimpin Tuban Bumi Wali Spirit Of Harmony”

PART 2

Imam Sarozi

Penulis Buku Suluk Rindu

Mahasiswa satu fase proses pembelajaran yang bisa dikatakan adalah keterbukaannya seluruh pemikiran dan gagasan yang ada. Menjadi seorang aktivis di kampus merupakan pilihan yang jarang diambil, sebab kadang harus menerima tanggung jawab besar.

Tak jarang juga mendapat sudut pandang negatif dari kalangan luar aktivis. Itu wajar, karena setiap pilihan harus siap menerima konsekuensinya. Barang tentu itu suatu tantangan tersendiri untuk suatu proses, yang kadang dimaknai sebagai keasyikan.


Aktivis teridentikan dengan kritik terhadap kebijakan pemerintah, orasi, gerakan jalanan mengunakan toa, maupun swaping gedung-gedung pemerintahan.


Hal ini sangatlah lumrah, jika stigma mahasiswa non aktivis ataupun masyarakat beranggapan, jika aktivis hanya seorang pengkritik ulung, pencari kesalahan kampus atau pemerintah, bahkan tak banyak yang memberi gelar aktivis itu ‘pemain sinetron’, yang artinya berperan untuk mendapatkan uang atau panggung saja.


Jalan aktivis itulah yang dulu hingga kini diambil Ahmad Atho’illah. Diceritakan dalam buku pertamanya yang berjudul “Diskusi aksi lalu minum kopi”, dinamika seorang aktivis dari tataran komisariat hingga cabang, penuh dengan intrik dan trik. Benturan, hantaman, serta terjangan beragam datang. Mengasahnya menjadi sosok yang sekarang.


Memulai karirnya dengan menjadi seorang jurnalis itu bukanlah hal mudah. Bukan hanya soal tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga saja. Namun gelar aktivis yang melekat dalam dirinya menuntut tetap menjaga kewarasan intelektual serta kritis terhadap kondisi sosial maupun problematika krusial.


Jurnalis Mempertahankan Kewarasan Intelektual


Semenjak menjadi aktivis, budaya membaca, diskusi serta improvisasi dalam nalar kritis sosial sudah menjadi rutinitas yang melekat sekali. Dalam hal itu, literasi menjadi pintu gerbang untuk menyambung segala gagasan serta ide-ide yang didapatkan.
Ketika seseorang memutuskan menjadi aktivis sekaligus jurnalis, semacam ada koneksi luar biasa. Sebab dua hal itu satu kesatuan, yang saling memberikan energi lebih.


“Jurnalis harus tetap berintelektual. Membaca, diskusi, serta bersosial harus menjadi agenda rutinan yang tidak bisa dipisahkan, itu didapatkan jika jiwa aktivis masih tertanam,” ucap Atho’ pada suatu diskusi.


Hal itu banyak tertuang dengan jelas dalam bukunya yang pertama, sekaligus menjadi bukti konkrit jika seorang jurnalis tak hanya bisa menulis sebuah berita. Namun disertai gagasan dan wawasan keintelektualan yang nyata.

Kondisi hari ini, banyak yang melupakan ruh dari tulisan. Bagaimana prisma pemikiran terbentuk dari rutinitas yang menjaga akal tetap dalam kondisi sadar. Sebagai mana banyak contoh para pendahulu yang merubah konstruksi pemikiran dengan tulisan. Merubah tatanan yang tidak sesuai dengan normal bernegara dengan tulisan. Menyuarakan gagasan dan pemikiran demi terciptanya kondisi kesejahteraan dan keadilan yang utuh.


Ada beberapa faktor yang membuat para jurnalis ‘tidak waras’ dalam tanda kutip demikian. Salah satunya, budaya membaca sudah hilang dianggap tidak penting. Ini yang menonjol sebenarnya, kadang target pekerjaan ataupun intensitas aktivitas terlalu padat sehingga jarang meluangkan waktunya untuk menambah nutrisi pemikiran. Perlu adanya penanaman dalam mindset, dengan membaca maka cakrawala keluasan pemikiran, gagasan, wawasan akan terbuka.


Budaya Literasi Mahasiswa NU dan Kompleksitas Berorganisasi


Status mahasiswa bisa jadi adalah salah satu karunia yang tidak semua orang merasakan, entah berbagai sebab yang menghalangi atau memang belum adanya suatu kesempatan. Yang jelas status mahasiswa bukanlah barang murahan yang mudah diperjual belikan.


Budaya literasi dalam kalangan Mahasiswa bukan hal baru tentunya, apalagi sebagai sosok mahasiswa yang juga kader NU. Semestinya ada nuansa lebih yang mampu ditawarkan, secara dalam ruang lingkup NU sendiri, menawarkan beragam kajian bisa memantik diskursus pemikiran.


Dalam konteks mahasiswa NU akan terfokus, seluruh kader NU yang tengah maupun telah usai berproses dalam ruang lingkup perguruan tinggi. Dan hal mengarah dengan adanya sejumlah organisasi ekstra kampus yang ada di perguruan tinggi.


Budaya literasi akan membentuk pribadi yang jelas-jelas matang, baik secara pemikiran serta prilaku. Sebabnya tolak ukurnya yaitu wawasan dan keilmuan. Bukan tanpa sebab penulis mengatakan itu, dalam konteks hari ini, nampak jelas hasil itu di lapangan. Semasa berproses di dalam organisasi kemahasiswaan mengalami dinamika keintelektualan hasil dari budaya literasi yang mengakar, akan menghasilkan buah kemapanan pemikiran setelah menjadi alumni. Semua proses tidak akan menghinati hasil, sebagaimana menanam buah maka itulah hasilnya.


Mengapa hari ini banyak mengeluhkan, banyak mahasiswa NU ketika berproses mengalami kemunduran keintelektualan. Mungkin akan banyak spekulasi yang bisa digambarkan disini. Namun terpenting dari itu, yaitu tentang proses kesadaran tentang posisi jati diri harus benar-benar di utamakan. Sebab tangung jawab besarnya bukan hanya tentang pertanggungjawaban menjadi mahasiswa, namun sebagai kader NU yang kelak menjadi penerus perjuangan misi besar.


Lebih dari itu, banyak juga yang mendiskusikan sebab dan mengapa, banyak ditemukan banyak mahasiswa NU yang telah menjadi alumni atau lulus dari perguruan tinggi, baik menjadi pejabat, guru, atau yang lainnya. Mengalami semacam kekosongan pemikiran.


Mungkin bisa diambil garis besar dari itu adalah cara berproses atau kurang maksimalnya ketika menyelami diskusi-diskusi pemikiran, kajian keintelektualan, ataupun kurang menancapnya budaya literasi dalam pola kehidupan.Jadi semua itu akan kembali kepada diri sendiri, mau terus terkukung dalam ketidak leluasan berfikir, atau nyaman dengan kondisi kebodohan yang sudah menjadi rutinitas. (*)

]]>
Transformasi Ideologi Berbasis Nalar Kritis Literasi Mahasiswa NU

“Refleksi Buku Jejak Emas Fathul Huda Sang Pemimpin Tuban Bumi Wali Spirit Of Harmony”

PART 2

Imam Sarozi

Penulis Buku Suluk Rindu

Mahasiswa satu fase proses pembelajaran yang bisa dikatakan adalah keterbukaannya seluruh pemikiran dan gagasan yang ada. Menjadi seorang aktivis di kampus merupakan pilihan yang jarang diambil, sebab kadang harus menerima tanggung jawab besar.

Tak jarang juga mendapat sudut pandang negatif dari kalangan luar aktivis. Itu wajar, karena setiap pilihan harus siap menerima konsekuensinya. Barang tentu itu suatu tantangan tersendiri untuk suatu proses, yang kadang dimaknai sebagai keasyikan.


Aktivis teridentikan dengan kritik terhadap kebijakan pemerintah, orasi, gerakan jalanan mengunakan toa, maupun swaping gedung-gedung pemerintahan.


Hal ini sangatlah lumrah, jika stigma mahasiswa non aktivis ataupun masyarakat beranggapan, jika aktivis hanya seorang pengkritik ulung, pencari kesalahan kampus atau pemerintah, bahkan tak banyak yang memberi gelar aktivis itu ‘pemain sinetron’, yang artinya berperan untuk mendapatkan uang atau panggung saja.


Jalan aktivis itulah yang dulu hingga kini diambil Ahmad Atho’illah. Diceritakan dalam buku pertamanya yang berjudul “Diskusi aksi lalu minum kopi”, dinamika seorang aktivis dari tataran komisariat hingga cabang, penuh dengan intrik dan trik. Benturan, hantaman, serta terjangan beragam datang. Mengasahnya menjadi sosok yang sekarang.


Memulai karirnya dengan menjadi seorang jurnalis itu bukanlah hal mudah. Bukan hanya soal tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga saja. Namun gelar aktivis yang melekat dalam dirinya menuntut tetap menjaga kewarasan intelektual serta kritis terhadap kondisi sosial maupun problematika krusial.


Jurnalis Mempertahankan Kewarasan Intelektual


Semenjak menjadi aktivis, budaya membaca, diskusi serta improvisasi dalam nalar kritis sosial sudah menjadi rutinitas yang melekat sekali. Dalam hal itu, literasi menjadi pintu gerbang untuk menyambung segala gagasan serta ide-ide yang didapatkan.
Ketika seseorang memutuskan menjadi aktivis sekaligus jurnalis, semacam ada koneksi luar biasa. Sebab dua hal itu satu kesatuan, yang saling memberikan energi lebih.


“Jurnalis harus tetap berintelektual. Membaca, diskusi, serta bersosial harus menjadi agenda rutinan yang tidak bisa dipisahkan, itu didapatkan jika jiwa aktivis masih tertanam,” ucap Atho’ pada suatu diskusi.


Hal itu banyak tertuang dengan jelas dalam bukunya yang pertama, sekaligus menjadi bukti konkrit jika seorang jurnalis tak hanya bisa menulis sebuah berita. Namun disertai gagasan dan wawasan keintelektualan yang nyata.

Kondisi hari ini, banyak yang melupakan ruh dari tulisan. Bagaimana prisma pemikiran terbentuk dari rutinitas yang menjaga akal tetap dalam kondisi sadar. Sebagai mana banyak contoh para pendahulu yang merubah konstruksi pemikiran dengan tulisan. Merubah tatanan yang tidak sesuai dengan normal bernegara dengan tulisan. Menyuarakan gagasan dan pemikiran demi terciptanya kondisi kesejahteraan dan keadilan yang utuh.


Ada beberapa faktor yang membuat para jurnalis ‘tidak waras’ dalam tanda kutip demikian. Salah satunya, budaya membaca sudah hilang dianggap tidak penting. Ini yang menonjol sebenarnya, kadang target pekerjaan ataupun intensitas aktivitas terlalu padat sehingga jarang meluangkan waktunya untuk menambah nutrisi pemikiran. Perlu adanya penanaman dalam mindset, dengan membaca maka cakrawala keluasan pemikiran, gagasan, wawasan akan terbuka.


Budaya Literasi Mahasiswa NU dan Kompleksitas Berorganisasi


Status mahasiswa bisa jadi adalah salah satu karunia yang tidak semua orang merasakan, entah berbagai sebab yang menghalangi atau memang belum adanya suatu kesempatan. Yang jelas status mahasiswa bukanlah barang murahan yang mudah diperjual belikan.


Budaya literasi dalam kalangan Mahasiswa bukan hal baru tentunya, apalagi sebagai sosok mahasiswa yang juga kader NU. Semestinya ada nuansa lebih yang mampu ditawarkan, secara dalam ruang lingkup NU sendiri, menawarkan beragam kajian bisa memantik diskursus pemikiran.


Dalam konteks mahasiswa NU akan terfokus, seluruh kader NU yang tengah maupun telah usai berproses dalam ruang lingkup perguruan tinggi. Dan hal mengarah dengan adanya sejumlah organisasi ekstra kampus yang ada di perguruan tinggi.


Budaya literasi akan membentuk pribadi yang jelas-jelas matang, baik secara pemikiran serta prilaku. Sebabnya tolak ukurnya yaitu wawasan dan keilmuan. Bukan tanpa sebab penulis mengatakan itu, dalam konteks hari ini, nampak jelas hasil itu di lapangan. Semasa berproses di dalam organisasi kemahasiswaan mengalami dinamika keintelektualan hasil dari budaya literasi yang mengakar, akan menghasilkan buah kemapanan pemikiran setelah menjadi alumni. Semua proses tidak akan menghinati hasil, sebagaimana menanam buah maka itulah hasilnya.


Mengapa hari ini banyak mengeluhkan, banyak mahasiswa NU ketika berproses mengalami kemunduran keintelektualan. Mungkin akan banyak spekulasi yang bisa digambarkan disini. Namun terpenting dari itu, yaitu tentang proses kesadaran tentang posisi jati diri harus benar-benar di utamakan. Sebab tangung jawab besarnya bukan hanya tentang pertanggungjawaban menjadi mahasiswa, namun sebagai kader NU yang kelak menjadi penerus perjuangan misi besar.


Lebih dari itu, banyak juga yang mendiskusikan sebab dan mengapa, banyak ditemukan banyak mahasiswa NU yang telah menjadi alumni atau lulus dari perguruan tinggi, baik menjadi pejabat, guru, atau yang lainnya. Mengalami semacam kekosongan pemikiran.


Mungkin bisa diambil garis besar dari itu adalah cara berproses atau kurang maksimalnya ketika menyelami diskusi-diskusi pemikiran, kajian keintelektualan, ataupun kurang menancapnya budaya literasi dalam pola kehidupan.Jadi semua itu akan kembali kepada diri sendiri, mau terus terkukung dalam ketidak leluasan berfikir, atau nyaman dengan kondisi kebodohan yang sudah menjadi rutinitas. (*)

]]>
https://tuban.beritabaru.co/transformasi-ideologi-berbasis-nalar-kritis-literasi-mahasiswa-nu/feed/ 0 https://tuban.beritabaru.co/wp-content/uploads/sites/7/2020/11/IMG-20201128-WA0141-300x285.jpg
Pertanggungjawaban Kader NU Mengawal Representasi Kepemimpinan Tokoh NU https://tuban.beritabaru.co/pertanggungjawaban-kader-nu-mengawal-reperesentasi-kepemimpinan-tokoh-nu/ https://tuban.beritabaru.co/pertanggungjawaban-kader-nu-mengawal-reperesentasi-kepemimpinan-tokoh-nu/#respond Sat, 28 Nov 2020 13:58:32 +0000 https://tuban.beritabaru.co/?p=2414 Pertanggungjawaban Kader NU Mengawal Representasi Kepemimpinan Tokoh NU

“Refleksi Buku Jejak Emas Fathul Huda Sang Pemimpin Tuban Bumi Wali Spirit Of Harmony”
PART 1

Imam Sarozi

Penulis Buku Suluk Rindu

Nahdlatul ulama (NU) di Kabupaten Tuban mengalami proses panjang. Dari awal berdirinya NU di Indonesia tahun 1926, hingga terbentuknya cabang NU di Kabupaten Tuban memiliki proses yang tak mudah.

Tahun 1935 NU cabang Jenu berdiri, berkat sejumlah santri alumni Pesantren Tebuireng di Kecamatan Jenu. KH Khusen sebagai Rais Syuriyah berduet dengan Kiai Umar Farouq sebagai Ketua Tanfidziyah.

Tekanan politik kolonial serta masih teguhnya para kyai memegang prinsip bahwa dakwah Islam tidak harus melalui organisasi, cukup melalui dakwah dan pengajian. Membuat NU harus berjuang lebih gigih agar bisa mendirikan cabang di kota Tuban.

Barulah tahun 1945 KH Wahid Hasyim menemui Bupati Tuban R.T. Soediman Hadiatmodjo saat itu, memintanya untuk mengizinkan membuka cabang NU di kota Tuban. Dan semenjak itu secara aktif menyebar ke seluruh plosok Tuban.

NU bukan hanya organisasi kemasyarakatan keagamaan biasa, namun NU mempunyai tanggungjawab besar terhadap masyarakat untuk mewujudkan civil society, yang artinya peranan NU sebagai organisasi kemasyarakatan yang turut serta membentuk masyarakat beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya.

Kepemimpinan Kader NU di Kabupaten Tuban

Salah satu pemimpin Tuban hari ini, KH Fathul Huda merupakan salah satu kader NU yang berangkat dari bawah hingga puncak tertinggi di Kabupaten Tuban bukanlah perkara sederhana. Tidak bisa hanya diasumsikan dengan peranan politik praktis saja, namun lebih dari itu. Tugas moral serta pengawalan kader NU sendiri memiliki peranan penting di sana.

Lahirnya buku “Jejak Emas Fathul Huda Sang Pemimpin Tuban Bumi Wali Spirit Of Harmony” menjadi bahan refleksi bersama tentang sosok kader NU mengawal pemimpin berasal dari kader NU juga. Mempertegas pertanggungjawaban kader NU dari sisi keintelektualan yang selama ini dikonotasikan bermodal ‘serampangan’ ‘ngawur’ atau asal-asalan.

Dari hulu ke hilir, dari proses pencalonan hingga dua masa periode, keikut sertaan kader NU mengawali kepemimpinan Bupati Fathul Huda menjadi sangat penting. Menjadi penegasan atas keseriusaan NU dan kader NU dalam membangun Civil Society di Kabupaten Tuban.

Torehan emas atau penghargaan itu hanya hadiah dari kerja keras serta kerjasama yang komunikatif. Membangun sinergitas yang tak tebang pilih, serta menakar peluang jangka panjang dalam membangun investasi perdaban di Bumi Wali untuk masa depan, dalam kontek sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten.

Hal itu lah menjadi sorotan terbitnya buku tersebut. bentuk konkrit kader NU memberikan uswah yang baik. Yang artinya pengawalan berbentuk kritik dan saran sebanding dengan apresiasi yang diberikan. Sehingga memberikontribusi secara optimal. Hal itu memberikan gambaran dalam beberapa sisi;

Pertama, sisi transparansi kinerja Kader NU yang menjadi pemimpin. Secara tidak langsung memberikan laporan pertanggungjawaban ke publik atas apa yang dilakukan kader NU serta capaian apa yang telah diberikan untuk masyarakat Tuban.

Kedua, sisi kredibilitas NU pencetak kader pemimpin yang kompeten.

Ketiga, sisi trust publik terhadap figur kader NU. Kepercayaan publik atau masyarakat menjadi tolak ukur penting akan kepuasaan kinerja kader NU.

Memperjelas jejak kepemimpinan kader NU yang dilakukan Bupati Fathul Huda, memberikan semacam sitimulus kedalam NU sendiri. Yang nota bene sebagai rumah besarnya.

Refleksi semua itu, seharusnya mampu memberikan suplementasi kepada kader NU yang lain untuk meningkatkan kualitas personal. Bukan hanya legimetasi saja, namun secara konkrit dengan tindakan.

Pertanggungjawaban Moril, Intelektual, dan Ukhrowi

Hubungan alamiah sebagai manusia harus saling memberikan timbal balik. Yang artinya tidak berat di satu sisi. Contoh saja, ketika orang lain itu benar, kita berkewajiban mengapresiasi. Jika orang lain bertindak kurang tepat, kita diharap memberikan nasihat dan saran.

Hal itulah seharusnya menjadi cerminan kader NU, dengan adanya salah satu kadernya menjadi pemimpin. Sebagai bentuk pertanggungjawaban ikatan emosional personal sesama kader maupun ikatan jam’iyyah sesama terbentuk maupun terdidik dari satu wadah.

Pertanggungjaawaban moril sebab terikatan emosional sesama kader NU yang selama ini mengawal kader NU menjadi pemimpin. Bukan hanya mengantar kepuncak saja, namun mengawal hingga tuntas masa pengabdian untuk tanah kelahiran. Keseriusan itu terindikasi kan dengan totalitas berada dalam sisi netralitas. Yang artinya jika kader NU yang menjadi pemimpin melakukan tindakan tidak mencerminkan kepentingan masyarakat, maka berani memberikan kritik saran yang di butuhkan.

Pertanggungjawaban intekletual kaitannya dengan ini, kader NU bisa memberikan kontribusi di berbagai bidang. Salah satunya dicontohkan Ahmad Atho’illah, dengan menulis berbasis data tentang dua periode kepemimpinan kader NU (Bupati Fathul Huda, red) tersebut. Capaian serta prestasinya selama memimpin Tuban. Sejalan dengan profesinya sebagai penulis. Yang artinya sesuai dengan kadar keilmuan serta kapasitas kader NU masing-masing.

Pertanggungjawaban ukhrowi yang berarti laporan kinerja kader NU selama ini kepada publik yang dalam hal ini adalah masyarakat itu sendiri. Sehingga masyarakat mengerti atas apa yang telah dilakukannya selama ini.

Literasi Sebagai Media Komunikasi Lintas Generasi

Membangun jiwa literasi kaum milenial hari ini, salah satu fungsinya sebagai dokumentasi atas proses kader NU dan peranan dalam mewujudkan Civil Society di Kabupaten Tuban.

Berkaca dari sejarah, banyak hal yang tidak diketahui sebab data literatur atas fakta sejarah sangatlah minim. Entah sebab dihilangkan atau memang tidak terpublikasikan. Yang pasti tugas besar hari ini yaitu mentransformasikan peristiwa hari ini bisa dinikmati serta dikaji generasi, sebagai bahan pijakan maupun contoh.

Literasi menjadi media yang akan terus abadi serta relevan, jika nantinya generasi di masa depan membutuhkan referensi akan sosok maupun peranannya.

Berangkat dari itulah, seharusnnya setiap generasi mampu mempublikasikan setiap sosok pemimpin maupun kadernya yang berkontribusi. Bukan tanpa alasan hal itu dilakukan, sebab hari ini berbicara fakta harus memiliki data. (*)

]]>
Pertanggungjawaban Kader NU Mengawal Representasi Kepemimpinan Tokoh NU

“Refleksi Buku Jejak Emas Fathul Huda Sang Pemimpin Tuban Bumi Wali Spirit Of Harmony”
PART 1

Imam Sarozi

Penulis Buku Suluk Rindu

Nahdlatul ulama (NU) di Kabupaten Tuban mengalami proses panjang. Dari awal berdirinya NU di Indonesia tahun 1926, hingga terbentuknya cabang NU di Kabupaten Tuban memiliki proses yang tak mudah.

Tahun 1935 NU cabang Jenu berdiri, berkat sejumlah santri alumni Pesantren Tebuireng di Kecamatan Jenu. KH Khusen sebagai Rais Syuriyah berduet dengan Kiai Umar Farouq sebagai Ketua Tanfidziyah.

Tekanan politik kolonial serta masih teguhnya para kyai memegang prinsip bahwa dakwah Islam tidak harus melalui organisasi, cukup melalui dakwah dan pengajian. Membuat NU harus berjuang lebih gigih agar bisa mendirikan cabang di kota Tuban.

Barulah tahun 1945 KH Wahid Hasyim menemui Bupati Tuban R.T. Soediman Hadiatmodjo saat itu, memintanya untuk mengizinkan membuka cabang NU di kota Tuban. Dan semenjak itu secara aktif menyebar ke seluruh plosok Tuban.

NU bukan hanya organisasi kemasyarakatan keagamaan biasa, namun NU mempunyai tanggungjawab besar terhadap masyarakat untuk mewujudkan civil society, yang artinya peranan NU sebagai organisasi kemasyarakatan yang turut serta membentuk masyarakat beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya.

Kepemimpinan Kader NU di Kabupaten Tuban

Salah satu pemimpin Tuban hari ini, KH Fathul Huda merupakan salah satu kader NU yang berangkat dari bawah hingga puncak tertinggi di Kabupaten Tuban bukanlah perkara sederhana. Tidak bisa hanya diasumsikan dengan peranan politik praktis saja, namun lebih dari itu. Tugas moral serta pengawalan kader NU sendiri memiliki peranan penting di sana.

Lahirnya buku “Jejak Emas Fathul Huda Sang Pemimpin Tuban Bumi Wali Spirit Of Harmony” menjadi bahan refleksi bersama tentang sosok kader NU mengawal pemimpin berasal dari kader NU juga. Mempertegas pertanggungjawaban kader NU dari sisi keintelektualan yang selama ini dikonotasikan bermodal ‘serampangan’ ‘ngawur’ atau asal-asalan.

Dari hulu ke hilir, dari proses pencalonan hingga dua masa periode, keikut sertaan kader NU mengawali kepemimpinan Bupati Fathul Huda menjadi sangat penting. Menjadi penegasan atas keseriusaan NU dan kader NU dalam membangun Civil Society di Kabupaten Tuban.

Torehan emas atau penghargaan itu hanya hadiah dari kerja keras serta kerjasama yang komunikatif. Membangun sinergitas yang tak tebang pilih, serta menakar peluang jangka panjang dalam membangun investasi perdaban di Bumi Wali untuk masa depan, dalam kontek sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten.

Hal itu lah menjadi sorotan terbitnya buku tersebut. bentuk konkrit kader NU memberikan uswah yang baik. Yang artinya pengawalan berbentuk kritik dan saran sebanding dengan apresiasi yang diberikan. Sehingga memberikontribusi secara optimal. Hal itu memberikan gambaran dalam beberapa sisi;

Pertama, sisi transparansi kinerja Kader NU yang menjadi pemimpin. Secara tidak langsung memberikan laporan pertanggungjawaban ke publik atas apa yang dilakukan kader NU serta capaian apa yang telah diberikan untuk masyarakat Tuban.

Kedua, sisi kredibilitas NU pencetak kader pemimpin yang kompeten.

Ketiga, sisi trust publik terhadap figur kader NU. Kepercayaan publik atau masyarakat menjadi tolak ukur penting akan kepuasaan kinerja kader NU.

Memperjelas jejak kepemimpinan kader NU yang dilakukan Bupati Fathul Huda, memberikan semacam sitimulus kedalam NU sendiri. Yang nota bene sebagai rumah besarnya.

Refleksi semua itu, seharusnya mampu memberikan suplementasi kepada kader NU yang lain untuk meningkatkan kualitas personal. Bukan hanya legimetasi saja, namun secara konkrit dengan tindakan.

Pertanggungjawaban Moril, Intelektual, dan Ukhrowi

Hubungan alamiah sebagai manusia harus saling memberikan timbal balik. Yang artinya tidak berat di satu sisi. Contoh saja, ketika orang lain itu benar, kita berkewajiban mengapresiasi. Jika orang lain bertindak kurang tepat, kita diharap memberikan nasihat dan saran.

Hal itulah seharusnya menjadi cerminan kader NU, dengan adanya salah satu kadernya menjadi pemimpin. Sebagai bentuk pertanggungjawaban ikatan emosional personal sesama kader maupun ikatan jam’iyyah sesama terbentuk maupun terdidik dari satu wadah.

Pertanggungjaawaban moril sebab terikatan emosional sesama kader NU yang selama ini mengawal kader NU menjadi pemimpin. Bukan hanya mengantar kepuncak saja, namun mengawal hingga tuntas masa pengabdian untuk tanah kelahiran. Keseriusan itu terindikasi kan dengan totalitas berada dalam sisi netralitas. Yang artinya jika kader NU yang menjadi pemimpin melakukan tindakan tidak mencerminkan kepentingan masyarakat, maka berani memberikan kritik saran yang di butuhkan.

Pertanggungjawaban intekletual kaitannya dengan ini, kader NU bisa memberikan kontribusi di berbagai bidang. Salah satunya dicontohkan Ahmad Atho’illah, dengan menulis berbasis data tentang dua periode kepemimpinan kader NU (Bupati Fathul Huda, red) tersebut. Capaian serta prestasinya selama memimpin Tuban. Sejalan dengan profesinya sebagai penulis. Yang artinya sesuai dengan kadar keilmuan serta kapasitas kader NU masing-masing.

Pertanggungjawaban ukhrowi yang berarti laporan kinerja kader NU selama ini kepada publik yang dalam hal ini adalah masyarakat itu sendiri. Sehingga masyarakat mengerti atas apa yang telah dilakukannya selama ini.

Literasi Sebagai Media Komunikasi Lintas Generasi

Membangun jiwa literasi kaum milenial hari ini, salah satu fungsinya sebagai dokumentasi atas proses kader NU dan peranan dalam mewujudkan Civil Society di Kabupaten Tuban.

Berkaca dari sejarah, banyak hal yang tidak diketahui sebab data literatur atas fakta sejarah sangatlah minim. Entah sebab dihilangkan atau memang tidak terpublikasikan. Yang pasti tugas besar hari ini yaitu mentransformasikan peristiwa hari ini bisa dinikmati serta dikaji generasi, sebagai bahan pijakan maupun contoh.

Literasi menjadi media yang akan terus abadi serta relevan, jika nantinya generasi di masa depan membutuhkan referensi akan sosok maupun peranannya.

Berangkat dari itulah, seharusnnya setiap generasi mampu mempublikasikan setiap sosok pemimpin maupun kadernya yang berkontribusi. Bukan tanpa alasan hal itu dilakukan, sebab hari ini berbicara fakta harus memiliki data. (*)

]]>
https://tuban.beritabaru.co/pertanggungjawaban-kader-nu-mengawal-reperesentasi-kepemimpinan-tokoh-nu/feed/ 0 https://tuban.beritabaru.co/wp-content/uploads/sites/7/2020/11/IMG-20201128-WA0141-300x285.jpg
Desa di Mata Kontestan Pilkada Tuban 2020 https://tuban.beritabaru.co/desa-di-mata-kontestan-pilkada-tuban-2020/ https://tuban.beritabaru.co/desa-di-mata-kontestan-pilkada-tuban-2020/#respond Sun, 13 Sep 2020 15:36:53 +0000 http://tuban.beritabaru.co/?p=814 Pilkada Tuban

Miftahul Huda
Pemerhati Kebijakan Publik


Meski angka kemiskinan di desa terus turun tiap tahunnya, jumlah penduduk miskin di desa nyatanya masih cukup tinggi. Dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis 20 Desember 2019, jumlah penduduk miskin di desa mencapai 15,15 juta jiwa, sementara di kota sebesar 9,99 juta jiwa.

Besarnya penduduk miskin di desa, membuat desa masih menjadi pusat perhatian politik (kebijakan), termasuk bagi mereka yang sedang mengikuti kontestasi politik, sebut saja Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Banyak program dan kebijakan dirancang untuk memajukan desa. Dan tentu saja, bagi kontestan di Pilkada, ini penting untuk meraih dukungan suara.

Hal itu pula yang terjadi di Pilkada Tuban 2020 ini. Ketiga Paslon, yakni Mbak Ana-De Anwar, Halindra-Riyadi dan Setiajid-Armaya, saling adu gagasan tentang konsep ‘pembangunan desa’. Bahkan, mereka tak enggan menawarkan penambahan dana transfer kepada desa dalam visi-misi dan program strategisnya.

Mbak Ana-De Anwar misalnya, menawarkan penambahan dana 10 persen setiap tahun dari ADD saat ini. Sementara Halindra yang mengusung tagline kampanyenya “Mbangun Deso Noto Kuto”--copy paste dari kampanye Ibunya pada pemilukada sebelumnya. Adapun Setiajid tidak kalah heboh, ia menjanjikan penambahan anggaran minimal sebesar Rp300-500 juta pertahun perdesa.

Mbak Ana-De Anwar

Desa disebut dua kali dalam visi-misi Mbak Ana-De Anwar. Pertama; dalam bidang Infrastruktur, mereka akan memprioritaskan pembangunan dan pemeliharaan jalan kabupaten (antar kecamatan dan poros desa), serta memperkuat koordinasi dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Pemerintah Desa guna tersedianya pelayanan infrastruktur jalan yang baik.

Kedua; dalam bidang pemerintahan, akan ada penambahan alokasi ADD (Alokasi Dana Desa) sebesar 10 persen setiap tahun untuk peningkatan layanan dan kesejahteraan masyarakat desa, aparatur desa dan BPD dalam kerangka “desa membangun bukan membangun desa”.

Mbak Ana-De Anwar seakan memahami bahwa paradigma pembangunan desa hari ini, melalui UU Nomor 6 tahun 2014, sudah sangat jauh berbeda dengan 10 tahun yang lalu sebelum ada UU tersebut. Mbak Ana memahami bahwa antara pemerintah daerah dan pemerintah desa memiliki kewenangan masing-masing yang tidak bisa saling menegasikan.

Terkait infrastruktur jalan lingkungan contohnya, dulu bisa dibangun oleh kabupaten, tapi saat ini pemerintah daerah tidak bisa seenaknya membangun karena itu wilayah kewenangan pemerintah desa.

Mbak Ana juga menawarkan penambahan ADD sebesar 10 persen setiap tahun. Tawaran yang rasional melihat diskresi fiskal (kemampuan anggaran) daerah yang kecil dengan APBD yang hanya Rp2,6 triliun. Jumlah ini jauh dari tetangga sebelah Kabupaten Bojonegoro yang mencapai Rp7 triliun.

Mbak Ana juga menegaskan bahwa pengelolaan pembangunan desa dalam kerangka “desa membangun bukan membangun desa” mengakui kewenangan desa untuk menentukan rumah tangganya sendiri. Desa dan masyarakatnya diposisikan sebagai subyek pembangunan desa bukan sebagai obyek.

Halindra-Riyadi

Halindra-Riyadi tidak mau kalah. Desa menjadi pesan dalam tagline mereka untuk menunjukkan kepada pemilih bahwa komitmen keduanya sangat besar pada desa. Meskipun mengusung tagline “Mbangun Deso” namun dalam visi-misi tidak cukup jelas.

Halindra-Riyadi hanya menyebut akan membangun Infrastruktur desa, dan seakan-akan menyederhanakan masalah desa hanya soal infrastruktur. Dari sisi paradigmatik, tagline “Mbangun Deso” sudah kadaluarsa dan tidak sesuai lagi dengan konsep ‘berdesa’ sebagaimana UU Desa saat ini.

Dimana negara telah memberikan pengakuan kepada desa untuk menjadi subyek pembangunan. Negara sadar bahwa Indonesia tidak lagi hanya dibangun dari Jakarta atau daerah, pembangunan desa dilakukan atas prakarsa masyarakatnya secara mandiri bukan atas inisiatif pusat maupun kabupaten. Sebab membangun desa adalah membangun Indonesia.

Setiajid-Armaya

Sementara ,Setiajid-Armaya secara bombastis cukup baik. Dalam banner maupun yang tertuang visi-misi, keduanya menjanjikan tambahan anggaran minimal Rp300-500 juta perdesa pertahun. Tambahan transfer anggaran desa tersebut dikhususkan untuk pembangunan fisik.

Sebagai Penasehat Asosiasi BPD Se kabupaten Tuban, penulis merasa senang dengan tawaran Bombastis tersebut. Penulis tertarik untuk melihat mungkinkah APBD Kabupaten Tuban mampu melaksanakan?.

Sebab, saat disimuliasikan, misalnya penerimaan ADD Desa Jadi Kecamatan Semanding tahun 2019 yang sebesar Rp498 juta. Selanjutnya dikalikan dengan jumlah desa se Kabupaten Tuban sebanyak 311 desa, maka Kabupaten Tuban dalam satu tahun anggaran harus mengeluarkan belanja ADD untuk desa-desa sebesar Rp154 miliar.

Apabila setiap tahunnya setiap desa ada tambahan Rp500 juta perdesa pertahun, maka di tahun kelima pemerintahannya Setiajid harus membelanjakan sebesar Rp776,9 miliar. Bahkan Kalau simulasi menggunakan contoh dalam APBD 2020 saat ini bantuan keuangan untuk desa sudah sebesar Rp393 miliar untuk 311 desa itu (belum dihitung bagi hasil pajak untuk desa), maka di tahun ke lima pemerintahan Setiajid harus menganggarkan Rp1.015 Triliun. Jumlah belanja penambahan anggaran untuk desa yang mencapai Rp.1,015 Triliun ini separo dari nilai APBD Kabupaten Tuban 2020.

Selain soal penambahan anggaran desa, Setiajid masih memiliki 8 program unggulan lainnya, dan lazim kita ketahui kapasitas anggaran daerah Kabupaten Tuban sangat kecil, dan harus menanggung Beban Belanja Pegawai (BL+BTL) saja sebesar Rp1,1 Triliun. Itu pun masih harus memiliki kewajiban sesuai kewenangan daerahnya, baik berupa Belanja Hibah, Bagi Hasil, Bansos, Belanja Tak Terduga, Belanja Barang dan Jasa, dan Belanja Modal.

Dengan simulasi di atas, janji penambahan anggaran desa sebesar Rp300-500 perdesa pertahun tidaklah Rasional dan tidak mungkin bisa direalisasikan. Pertanyaan penulis, untuk penambahan anggaran tersebut mau diambilkan uang dari mana?.

Meski, ada yang nyeletuk ‘nanti kalau Kilang Rosneft Pertamina di Jenu sudah beroperasi, maka Kabupaten Tuban akan dapat DBH (Dana Bagi Hasil) besar sebagaimana kabupaten sebelah’. Itu bagi penulis mimpi di siang bolong. Bedakan industri hulu migas di bawah kewenangan SKK Migas (eksploitasi macam Pertamina EP, EMCL) di mana daerah kabupoten/kota penghasil dapat DBH 6 persen dengan industri hilir migas di bawah kewenangannya BPH Migas (kilang migas maupun SPBU) itu tidak ada ketentuan daerah kabupaten/kota setempat mendapatkan DBH. Sebagaimana kilang Pertamina yang di Cilacap atau industri hilir batu bara seperti Smelter Freeport yang akan ada di Gresik. Daerah gak dapat DBH…!.

Masih ada juga yang bilang bahwa bisa dari CSR (Corporate Social Responsibility). Perlu Anda tahu bahwa CSR yang menjadi kewajiban industri itu tidak masuk APBD. Jadi skema CSR bukan wilayah kewenangan daerah menentukan peruntukannya. Itu ruang privat. Daerah hanya singkronisasi program saja.

Jadi penambahan Rp300-500 juta perdesa pertahun ngemplang dari mana? Kontestasi Pemilukada, sebagai ajang pendidikan politik warga dengan cara Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati dengan menawarkan program terbaiknya, menurut penulis harus tetap rasional. Jelas apa yang akan dilakukan apabila terpilih nantinya, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah Kabupaten Tuban.

Pemilukada sebagai ajang kontrak politik lima tahunan, bagi penulis, calon sebaiknya menawarkan program yang bisa dilakukan dan bisa didanai. Sementara pemilih harus bijak mempertimbangkan pilihannya atas program-program terbaik yang ditawarkan oleh calon. Sebab, jika tidak, rakyat akan memilikil beban berat selama lima tahun kedepan, sebagai 'kutukan'. (*)

]]>
Pilkada Tuban

Miftahul Huda
Pemerhati Kebijakan Publik


Meski angka kemiskinan di desa terus turun tiap tahunnya, jumlah penduduk miskin di desa nyatanya masih cukup tinggi. Dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis 20 Desember 2019, jumlah penduduk miskin di desa mencapai 15,15 juta jiwa, sementara di kota sebesar 9,99 juta jiwa.

Besarnya penduduk miskin di desa, membuat desa masih menjadi pusat perhatian politik (kebijakan), termasuk bagi mereka yang sedang mengikuti kontestasi politik, sebut saja Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Banyak program dan kebijakan dirancang untuk memajukan desa. Dan tentu saja, bagi kontestan di Pilkada, ini penting untuk meraih dukungan suara.

Hal itu pula yang terjadi di Pilkada Tuban 2020 ini. Ketiga Paslon, yakni Mbak Ana-De Anwar, Halindra-Riyadi dan Setiajid-Armaya, saling adu gagasan tentang konsep ‘pembangunan desa’. Bahkan, mereka tak enggan menawarkan penambahan dana transfer kepada desa dalam visi-misi dan program strategisnya.

Mbak Ana-De Anwar misalnya, menawarkan penambahan dana 10 persen setiap tahun dari ADD saat ini. Sementara Halindra yang mengusung tagline kampanyenya “Mbangun Deso Noto Kuto”--copy paste dari kampanye Ibunya pada pemilukada sebelumnya. Adapun Setiajid tidak kalah heboh, ia menjanjikan penambahan anggaran minimal sebesar Rp300-500 juta pertahun perdesa.

Mbak Ana-De Anwar

Desa disebut dua kali dalam visi-misi Mbak Ana-De Anwar. Pertama; dalam bidang Infrastruktur, mereka akan memprioritaskan pembangunan dan pemeliharaan jalan kabupaten (antar kecamatan dan poros desa), serta memperkuat koordinasi dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Pemerintah Desa guna tersedianya pelayanan infrastruktur jalan yang baik.

Kedua; dalam bidang pemerintahan, akan ada penambahan alokasi ADD (Alokasi Dana Desa) sebesar 10 persen setiap tahun untuk peningkatan layanan dan kesejahteraan masyarakat desa, aparatur desa dan BPD dalam kerangka “desa membangun bukan membangun desa”.

Mbak Ana-De Anwar seakan memahami bahwa paradigma pembangunan desa hari ini, melalui UU Nomor 6 tahun 2014, sudah sangat jauh berbeda dengan 10 tahun yang lalu sebelum ada UU tersebut. Mbak Ana memahami bahwa antara pemerintah daerah dan pemerintah desa memiliki kewenangan masing-masing yang tidak bisa saling menegasikan.

Terkait infrastruktur jalan lingkungan contohnya, dulu bisa dibangun oleh kabupaten, tapi saat ini pemerintah daerah tidak bisa seenaknya membangun karena itu wilayah kewenangan pemerintah desa.

Mbak Ana juga menawarkan penambahan ADD sebesar 10 persen setiap tahun. Tawaran yang rasional melihat diskresi fiskal (kemampuan anggaran) daerah yang kecil dengan APBD yang hanya Rp2,6 triliun. Jumlah ini jauh dari tetangga sebelah Kabupaten Bojonegoro yang mencapai Rp7 triliun.

Mbak Ana juga menegaskan bahwa pengelolaan pembangunan desa dalam kerangka “desa membangun bukan membangun desa” mengakui kewenangan desa untuk menentukan rumah tangganya sendiri. Desa dan masyarakatnya diposisikan sebagai subyek pembangunan desa bukan sebagai obyek.

Halindra-Riyadi

Halindra-Riyadi tidak mau kalah. Desa menjadi pesan dalam tagline mereka untuk menunjukkan kepada pemilih bahwa komitmen keduanya sangat besar pada desa. Meskipun mengusung tagline “Mbangun Deso” namun dalam visi-misi tidak cukup jelas.

Halindra-Riyadi hanya menyebut akan membangun Infrastruktur desa, dan seakan-akan menyederhanakan masalah desa hanya soal infrastruktur. Dari sisi paradigmatik, tagline “Mbangun Deso” sudah kadaluarsa dan tidak sesuai lagi dengan konsep ‘berdesa’ sebagaimana UU Desa saat ini.

Dimana negara telah memberikan pengakuan kepada desa untuk menjadi subyek pembangunan. Negara sadar bahwa Indonesia tidak lagi hanya dibangun dari Jakarta atau daerah, pembangunan desa dilakukan atas prakarsa masyarakatnya secara mandiri bukan atas inisiatif pusat maupun kabupaten. Sebab membangun desa adalah membangun Indonesia.

Setiajid-Armaya

Sementara ,Setiajid-Armaya secara bombastis cukup baik. Dalam banner maupun yang tertuang visi-misi, keduanya menjanjikan tambahan anggaran minimal Rp300-500 juta perdesa pertahun. Tambahan transfer anggaran desa tersebut dikhususkan untuk pembangunan fisik.

Sebagai Penasehat Asosiasi BPD Se kabupaten Tuban, penulis merasa senang dengan tawaran Bombastis tersebut. Penulis tertarik untuk melihat mungkinkah APBD Kabupaten Tuban mampu melaksanakan?.

Sebab, saat disimuliasikan, misalnya penerimaan ADD Desa Jadi Kecamatan Semanding tahun 2019 yang sebesar Rp498 juta. Selanjutnya dikalikan dengan jumlah desa se Kabupaten Tuban sebanyak 311 desa, maka Kabupaten Tuban dalam satu tahun anggaran harus mengeluarkan belanja ADD untuk desa-desa sebesar Rp154 miliar.

Apabila setiap tahunnya setiap desa ada tambahan Rp500 juta perdesa pertahun, maka di tahun kelima pemerintahannya Setiajid harus membelanjakan sebesar Rp776,9 miliar. Bahkan Kalau simulasi menggunakan contoh dalam APBD 2020 saat ini bantuan keuangan untuk desa sudah sebesar Rp393 miliar untuk 311 desa itu (belum dihitung bagi hasil pajak untuk desa), maka di tahun ke lima pemerintahan Setiajid harus menganggarkan Rp1.015 Triliun. Jumlah belanja penambahan anggaran untuk desa yang mencapai Rp.1,015 Triliun ini separo dari nilai APBD Kabupaten Tuban 2020.

Selain soal penambahan anggaran desa, Setiajid masih memiliki 8 program unggulan lainnya, dan lazim kita ketahui kapasitas anggaran daerah Kabupaten Tuban sangat kecil, dan harus menanggung Beban Belanja Pegawai (BL+BTL) saja sebesar Rp1,1 Triliun. Itu pun masih harus memiliki kewajiban sesuai kewenangan daerahnya, baik berupa Belanja Hibah, Bagi Hasil, Bansos, Belanja Tak Terduga, Belanja Barang dan Jasa, dan Belanja Modal.

Dengan simulasi di atas, janji penambahan anggaran desa sebesar Rp300-500 perdesa pertahun tidaklah Rasional dan tidak mungkin bisa direalisasikan. Pertanyaan penulis, untuk penambahan anggaran tersebut mau diambilkan uang dari mana?.

Meski, ada yang nyeletuk ‘nanti kalau Kilang Rosneft Pertamina di Jenu sudah beroperasi, maka Kabupaten Tuban akan dapat DBH (Dana Bagi Hasil) besar sebagaimana kabupaten sebelah’. Itu bagi penulis mimpi di siang bolong. Bedakan industri hulu migas di bawah kewenangan SKK Migas (eksploitasi macam Pertamina EP, EMCL) di mana daerah kabupoten/kota penghasil dapat DBH 6 persen dengan industri hilir migas di bawah kewenangannya BPH Migas (kilang migas maupun SPBU) itu tidak ada ketentuan daerah kabupaten/kota setempat mendapatkan DBH. Sebagaimana kilang Pertamina yang di Cilacap atau industri hilir batu bara seperti Smelter Freeport yang akan ada di Gresik. Daerah gak dapat DBH…!.

Masih ada juga yang bilang bahwa bisa dari CSR (Corporate Social Responsibility). Perlu Anda tahu bahwa CSR yang menjadi kewajiban industri itu tidak masuk APBD. Jadi skema CSR bukan wilayah kewenangan daerah menentukan peruntukannya. Itu ruang privat. Daerah hanya singkronisasi program saja.

Jadi penambahan Rp300-500 juta perdesa pertahun ngemplang dari mana? Kontestasi Pemilukada, sebagai ajang pendidikan politik warga dengan cara Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati dengan menawarkan program terbaiknya, menurut penulis harus tetap rasional. Jelas apa yang akan dilakukan apabila terpilih nantinya, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah Kabupaten Tuban.

Pemilukada sebagai ajang kontrak politik lima tahunan, bagi penulis, calon sebaiknya menawarkan program yang bisa dilakukan dan bisa didanai. Sementara pemilih harus bijak mempertimbangkan pilihannya atas program-program terbaik yang ditawarkan oleh calon. Sebab, jika tidak, rakyat akan memilikil beban berat selama lima tahun kedepan, sebagai 'kutukan'. (*)

]]>
https://tuban.beritabaru.co/desa-di-mata-kontestan-pilkada-tuban-2020/feed/ 0 https://tuban.beritabaru.co/wp-content/uploads/sites/7/2020/09/Pilkada-Tuban-300x199.jpg
Bisakah Lingkaran Petahana Menjawab Opini Publik https://tuban.beritabaru.co/bisakah-lingkaran-petahana-menjawab-opini-publik/ https://tuban.beritabaru.co/bisakah-lingkaran-petahana-menjawab-opini-publik/#respond Sun, 30 Aug 2020 03:07:02 +0000 http://tuban.beritabaru.co/?p=539 Bisakah Lingkaran Petahana Menjawab Opini Publik

Imam Sarozi
Penulis buku Suluk Rindu

Layaknya dunia peperangan untuk menaklukkan suatu kekuasaan. Mengharuskan banyak pembodohan, rekayasa, pembantaian karakter, dan pelumpuhan citra. Kontestasi politik tak ubahnya medan peperangan ego gelap pribadi bukan atas nama rakyat dan segala kepentingan kesejahteraan. Mal-mal suram tempat konsolidasi berdiri di setiap ruang kopi hingga bahu jalanan pedesaan. Menyuguhkan taruhan serta tawar menawar kepentingan. Lantas apa yang di perjuangkan jika demokrasi tanpa mampu berdiri tegak atas nama kemakmuran? Terus bagaimana suara demokrasi yang di ambil dari rakyat bisa bermakna, jika ruang kontestasi saja sudah syarat rekayasa.

Mengutip pendapat Robert Dahl “bahwa demokratisasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat lokal” (Fitriyah 2005: 297). Menyambut pilkada Tuban yang akan dilaksanakan bulan Desember tahun ini, sudah cukup terasa asmotfer simbol opini publik. Baik melalui ruang media sosial hingga ruang rasan-rasan masyarakat awam. Publik menjadi lapangan bola luas. Tempat bergulirnya pencitraan dan permainan opini dimainkan. Bola liar menjadi incaran dari setiap kaki para binatang penjilat.

Peperangan politik sudah lama terjadi dengan tendensi demokrasi. Namun tak sejalan dengan representasi. Kibul mengibuli sudah hal lazim terjadi. Suara rakyat hanya santapan liar untuk unjuk gigi menancapkan taring kepentingan lebih dalam. Desas-desus petahana menyalonkan putra mahkota sudah menjadi rahasia umum. Entah sebagai branding kelanggengan kekuasaan ataukah mencetak generasi emas dalam clan golongan. Semua mata yang menyoroti memiliki opini yang bergulir deras. Sampai dimana ujungnya belum bisa terteka.

Kubu petahana diuntungkan dengan dukungan beberapa jaringan dan mesin politiknya yang cukup solid, kandidat petahana ini mempunyai image position sebagai pejabat yang popular di mata publik. Apalagi jika proses tersebut ditopang dengan kinerja figur yang positif tentunya akan semakin memperkuat korelasi antara pemilihan dan calon kandidat dalam hal memperoleh kemenangan (Firmanzah 2010: 229). Tetapi jika petahana tidak bertarung sendiri hanya memainkan pion catur apakah pihak petahana diuntungkan dengan itu. Sedangkan pion tak memiliki image position dan kinerja teruji kapabilitasnya.

Opini publik cenderung kritis dalam berbagai kondisi dan sudut pandang. Hal itu syarat penjabaran kondisi di lingkungan sekitar. Dalam dua masa periode kepemimpinan masih belum terasa menjawab segala problematika masyarakat, justru menampilkan problem baru yang menambah beban masyarakat.

Sedangkan hari ini rival yang santer terdengar adalah putra mahkota ratu yang dulu berkuasa. Komposisi pertarungan Pilkada Desember depan, akan terasa dua mata pedang dari dua empu yang sudah pernah merasakan kursi 01 Tuban. Entah dinamika konsolidasi yang seperti apa bermain, namun bukan itu yang mendapat sorotan publik. Justru kedua empu dibalik dua wayang yang memainkan putra mahkotanya sebagai pion.

NU, Organisasi Pendukung Solusi atau Bunuh Diri?

Identitas pemimpin daerah Tuban di golongan dari kaca mata masyarakat awam adalah representasi kepemimpinan NU sendiri. Yang artinya pemimpin Tuban sekaligus simbol kemimpinan NU sendiri. Jika kepimpinan Tuban mendapat pandangan bagus itu sekaligus mewakili penilaian terhadap NU. Tidak menutupi kepemimpinan jika timbul kekecewaan atau ketidakpuasaan terhadap kepemimpinan Tuban hari ini akan berdampak kepercayaan terhadap NU.

Rekomendasi partai PKB hari ini masih mengambang menjadi bahan opini publik yang entah disengaja disiapkan “black box campions” atau bisa juga bentuk kedelemaan pimpinan partai atas kebuntuan konsolidasi koalisi yang ada, tentang figur yang mendapat dukungan penuh. Kenapa harus penuh? Dititik ini perlu pemahaman lebih jika selama ini respon terhadap kader masih tawar menawar komposisi komplit dari rekonstruksi politik yang akan dibawa selama masa jabatan nanti.

Mengenai bursa figur didalam ruang “lingkaran hijau” masih tarik ulur opini serta syarat sekali dengan keambiguan informasi yang selama ini dipaparkan dalam publik. Entah figur yang diusung masih belum bisa memenuhi kebutuhan partai atau tendensi rekomendasi sesepuh para empu belum juga turun. Kemungkinan itu membuat publik bertanya, peranan para sesepuh empu di dalam tubuh NU Tuban sejauh mana menimbang, menyaring, serta mengkader figur yang pas diajukan dalam kontestasi Pilkada Tuban nantinya. (*)

Sumber foto; law.justice.com

]]>
Bisakah Lingkaran Petahana Menjawab Opini Publik

Imam Sarozi
Penulis buku Suluk Rindu

Layaknya dunia peperangan untuk menaklukkan suatu kekuasaan. Mengharuskan banyak pembodohan, rekayasa, pembantaian karakter, dan pelumpuhan citra. Kontestasi politik tak ubahnya medan peperangan ego gelap pribadi bukan atas nama rakyat dan segala kepentingan kesejahteraan. Mal-mal suram tempat konsolidasi berdiri di setiap ruang kopi hingga bahu jalanan pedesaan. Menyuguhkan taruhan serta tawar menawar kepentingan. Lantas apa yang di perjuangkan jika demokrasi tanpa mampu berdiri tegak atas nama kemakmuran? Terus bagaimana suara demokrasi yang di ambil dari rakyat bisa bermakna, jika ruang kontestasi saja sudah syarat rekayasa.

Mengutip pendapat Robert Dahl “bahwa demokratisasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat lokal” (Fitriyah 2005: 297). Menyambut pilkada Tuban yang akan dilaksanakan bulan Desember tahun ini, sudah cukup terasa asmotfer simbol opini publik. Baik melalui ruang media sosial hingga ruang rasan-rasan masyarakat awam. Publik menjadi lapangan bola luas. Tempat bergulirnya pencitraan dan permainan opini dimainkan. Bola liar menjadi incaran dari setiap kaki para binatang penjilat.

Peperangan politik sudah lama terjadi dengan tendensi demokrasi. Namun tak sejalan dengan representasi. Kibul mengibuli sudah hal lazim terjadi. Suara rakyat hanya santapan liar untuk unjuk gigi menancapkan taring kepentingan lebih dalam. Desas-desus petahana menyalonkan putra mahkota sudah menjadi rahasia umum. Entah sebagai branding kelanggengan kekuasaan ataukah mencetak generasi emas dalam clan golongan. Semua mata yang menyoroti memiliki opini yang bergulir deras. Sampai dimana ujungnya belum bisa terteka.

Kubu petahana diuntungkan dengan dukungan beberapa jaringan dan mesin politiknya yang cukup solid, kandidat petahana ini mempunyai image position sebagai pejabat yang popular di mata publik. Apalagi jika proses tersebut ditopang dengan kinerja figur yang positif tentunya akan semakin memperkuat korelasi antara pemilihan dan calon kandidat dalam hal memperoleh kemenangan (Firmanzah 2010: 229). Tetapi jika petahana tidak bertarung sendiri hanya memainkan pion catur apakah pihak petahana diuntungkan dengan itu. Sedangkan pion tak memiliki image position dan kinerja teruji kapabilitasnya.

Opini publik cenderung kritis dalam berbagai kondisi dan sudut pandang. Hal itu syarat penjabaran kondisi di lingkungan sekitar. Dalam dua masa periode kepemimpinan masih belum terasa menjawab segala problematika masyarakat, justru menampilkan problem baru yang menambah beban masyarakat.

Sedangkan hari ini rival yang santer terdengar adalah putra mahkota ratu yang dulu berkuasa. Komposisi pertarungan Pilkada Desember depan, akan terasa dua mata pedang dari dua empu yang sudah pernah merasakan kursi 01 Tuban. Entah dinamika konsolidasi yang seperti apa bermain, namun bukan itu yang mendapat sorotan publik. Justru kedua empu dibalik dua wayang yang memainkan putra mahkotanya sebagai pion.

NU, Organisasi Pendukung Solusi atau Bunuh Diri?

Identitas pemimpin daerah Tuban di golongan dari kaca mata masyarakat awam adalah representasi kepemimpinan NU sendiri. Yang artinya pemimpin Tuban sekaligus simbol kemimpinan NU sendiri. Jika kepimpinan Tuban mendapat pandangan bagus itu sekaligus mewakili penilaian terhadap NU. Tidak menutupi kepemimpinan jika timbul kekecewaan atau ketidakpuasaan terhadap kepemimpinan Tuban hari ini akan berdampak kepercayaan terhadap NU.

Rekomendasi partai PKB hari ini masih mengambang menjadi bahan opini publik yang entah disengaja disiapkan “black box campions” atau bisa juga bentuk kedelemaan pimpinan partai atas kebuntuan konsolidasi koalisi yang ada, tentang figur yang mendapat dukungan penuh. Kenapa harus penuh? Dititik ini perlu pemahaman lebih jika selama ini respon terhadap kader masih tawar menawar komposisi komplit dari rekonstruksi politik yang akan dibawa selama masa jabatan nanti.

Mengenai bursa figur didalam ruang “lingkaran hijau” masih tarik ulur opini serta syarat sekali dengan keambiguan informasi yang selama ini dipaparkan dalam publik. Entah figur yang diusung masih belum bisa memenuhi kebutuhan partai atau tendensi rekomendasi sesepuh para empu belum juga turun. Kemungkinan itu membuat publik bertanya, peranan para sesepuh empu di dalam tubuh NU Tuban sejauh mana menimbang, menyaring, serta mengkader figur yang pas diajukan dalam kontestasi Pilkada Tuban nantinya. (*)

Sumber foto; law.justice.com

]]>
https://tuban.beritabaru.co/bisakah-lingkaran-petahana-menjawab-opini-publik/feed/ 0 https://tuban.beritabaru.co/wp-content/uploads/sites/7/2020/08/politik-simbol-300x215.jpg
Menelaah Kehancuran Negara atas Keserakahan Penguasa https://tuban.beritabaru.co/menelaah-kehancuran-negara-atas-keserakahan-penguasa/ https://tuban.beritabaru.co/menelaah-kehancuran-negara-atas-keserakahan-penguasa/#respond Tue, 14 Jul 2020 06:38:09 +0000 http://tuban.beritabaru.co/?p=239 Menelaah Kehancuran Negara atas Keserakahan Penguasa

Wawan Purwadi

Kabiro beritabaru.co di Tuban


Hari ini semua masyarakat dunia masih dalam ketakutan atas wabah Covid-19, khususnya adalah masyarakat Indonesia. Walaupun pemerintah sudah menyatakan kenormalan baru (New Normal), namun, masih belum efektif. Masyarakat boleh melakukan aktifitas keseharian seperti sediakala, tetapi, harus selalu menggunakan protokal kesehatan.

Karena wabah ini sampai hari ini masih dianggap belum hilang, korban Coronavirus masih terus bertambah dan ada yang mengatakan penyebaran Coronavirus melalui udara. Sehingga mau tidak mau semua dihimbau untuk mengikuti anjuran pemerintah melalui protokol kesehatan.

Namun, seolah kebijakan yang dibuat hanya obat kerinduan atas ramainya aktifitas ekonomi dan berjalannya roda investasi. Sehingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selalu mentah dilapangan. Karena dianggap tidak efektif dan tidak efesien. Lagi-lagi harus bongkar pasang dan tata ulang.

Mungkin Coronavirus kita cukupkan sampai disini, masyarakat sudah cukup bosan untuk melihat gimic politik yang begitu tidak membawa nilai positif bagi masyarakat. Justru politik ini hanya bermuara pada segelintir orang elit politik. Hanya cari sensasi dan simpati yang tak berarti. Mau Coronavirus hilang atau tidak, masyarakat Indonesia sudah biasa beradaptasi dengan keadaan apapun. Kembali pada tema pada tulisan ini.

Jika kita menelaah awal kehancuran negara adalah dari elit politik atau birokrat yang tidak berkualitas. Sehingga dalam urusan kemanusiaan harus menghitung untung  dan rugi. Oleh sebab itu, ketika membuat kebijakan bongkar pasang.

Dalam hal ini jika kita masuk pada pemikiran tokoh besar Ibnu Khaldun dalam bukunya Mukaddimah. Menjelaskan bahwa, kekuasaan terbentuk melalui kemenangan suatu kelompok tertentu atas lainnya.

Kekuasaan itu merupakan kedudukan meyenangkan, meliputi berbagai kesenangan materi maupun maknawi, materi maupun spiritual, visible maupun invisible.  Sehingga ketika memperebutkan seringkali adanya kompetisi-kompetisi menggemparkan dan sedikit orang atau kelompok tertentu yang mau menyerahkannya, (2000; hlm 7).

Jika pemikiran Ibnu Khaldun kita gunakan untuk mendeteksi politik kekuasaan di Indonesia, partai politik menjadi proses awal justifijkasi kekuasaan, maka partai acap kali menjadi proteksi, pembela, bahwa klaim untuk segala persoalan itu.

Atas hal ini, kompetisi antar kelompok biasanya tidak dapat dilepaskan dari sikap-sikap arogan untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Dimana, pemegang kebijaksanaan dari partai atau kelompok yang berkauasa senantiasa mencari legitimasi kemenangan dari masa dengan berbagai manuver siasat atas nama kelompok, profesi, bahkan agama.  

Formulasi Kekuasaan Politik

Seyogianya politik kekuasaan harus diformulasikan untuk kemanusiaan. Karena keduannya secara naluri berkait dengan fitrah manusia dan pola pikirnya yang condong pada maslahat. Dalam cakupan ini kebutuhan terhadap perlindungan, keamanan, kesejahteraan dan lain-lain, adalah tanggung jawab politik dan kekuasaan.

Kekuasaan dan politik merupakan tanggung jawab dan amanah dalam rangka implementasi undang-undang untuk kemaslahatan bagi masyarakat umum. Membantu yang lemah, merangkul semua pihak, menjunjung tinggi hukum mendengar aspirasi, mengentas para mustadh’afin, berprasangka baik pada pemeluk agama, menghindari tindakan makar dan lain-lain.

Hal ini merupakan etika politik yang menjadi pijakan praktis dalam tindakan politik untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, dan bukan hal lagi soal melulu kekuasaan.

Pandangan Ibnu Khaldun tentang sosial politik, kekuasan beda dengan Nicollo Machiavelli (1469-1528 M) seorang filsuf dan politikus berkebangsaan itali yang menulis tetang ide-ide bangunan sosial politik kenegaraan dalam bukunya The Prince.

Dalam buku tersebut Machievelli mempropagandakan sistem baru yang liberal secera religi maupun moral. Sehingga aliran Machievelli (Machuavellisme) tidak peduli apakah tindakan yang dijalankan itu bermuatan trick-trick, tipu daya, jujur atau tidak jujur asalkan tujuan tercapai. Jika melihat dua tokoh ini sangat jauh dan bersebarangan.

Jika Ibnu Khaldun memberikan padangan politik demi kemaslahatan, lain halnya dengan Nicollo Machiavelli. Pilihannya adalah disegani atau ditakuti sebagai penguasa.

Menelaah Kehancuran Negara

Jika pemimpin hanya untuk di takuti. Maka kita harus kembali pada fungsi negara adalah sebagai ruang besar manusia untuk meraih sebuah tujuan bersama. Sehingga manusia bisa hidup damai berdampingan antar ras, suku, agama dan budaya. Negara tidak memiliki ruang sekat untuk masyarakat yang didalamya.

Namun, pandangan Ibnu Khaldun tentang negara sangatlah luas. Ia mempunyai analisa tentang masa perjuangan dan kejayaan negara terbagi menjadi tiga generasi. Yakni, 120 tahun. Satu generasi dihitung umur yang biasa bagi seseorang yaitu 40 tahun. Ketiga generasai tersebut adalah;

Pertama, generasi pertama hidup dalam keadaan primitif yang keras dan jauh dari kemewahan dan kehidupan kota. Kedua,  berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, sehingga generasi ini berhasil keluar dari kehidupan primitif dan hidup mewah di perkotaan. Ketiga, negara mengalami kehancuran, sebab generasi ini tenggelam dalam kemewahan, penakut dan kehilangan makna kehormatan, keperwiraan dan keberaniaan.

Dari rumusan tersebut mungkin bisa kita korelasikan pada keadaan negara Indonesia yang pada saat ini masih belum menunjukan prestasi baik bagi kesejahteraan bagi masayarakt. Pejabat negara masih terjerat pada poin tiga yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun.

Dari rumusan ini kita menelaah atas kehancuran negara adalah dari keserakahan pemimpin berkuasa yang tidak pernah bisa melihat tolak ukur kebijakan. Hal memalukan selalu terjadi, mimik wajah songong yang tidak pernah merasa bersalah. Cukup sudah memang, pusing bukan kepalang jika kita melihat koordinasi dan penerapan kebijakan selalu mentah. Masyarakat tidak pusing dengan ulah mereka, yang jadi petani tetap petani, pedagang kaki lima, asongan tukang sapu dan seterusnya.

Masyarakat sudah cukup nyaman dengan keseharian mereka. Kenapa pejabat negara gimick pusingnya keterusan?. Sehingga lama-lama kelihatan bodoh beneran. Bersembunyi dibalik topeng kebijakan, yang seolah benar-benar memperdulikan masyarakat. Padahal kebijakan yang dibuat tipuan. Jika semua masyarakat tahu.

Tentu hal ini juga awal sebuah kehancuran negara. Karena masyarakat tidak ada yang percaya terhadap keberadaan pemimpin. Mau, Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Bupati (Pilbup), Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan Pemilihan Presiden (Pilpres).

Walaupun ganti pemimpin seribu kali jika hanya soal kalkulator politik oligarki, maka tidak akan pernah cukup mampu membendung kesenjangan masyarakat. Yang ada hanya mampu membendung keinginan keserakahan penguasa, bukan soal kemaslahatan. (*)

]]>
Menelaah Kehancuran Negara atas Keserakahan Penguasa

Wawan Purwadi

Kabiro beritabaru.co di Tuban


Hari ini semua masyarakat dunia masih dalam ketakutan atas wabah Covid-19, khususnya adalah masyarakat Indonesia. Walaupun pemerintah sudah menyatakan kenormalan baru (New Normal), namun, masih belum efektif. Masyarakat boleh melakukan aktifitas keseharian seperti sediakala, tetapi, harus selalu menggunakan protokal kesehatan.

Karena wabah ini sampai hari ini masih dianggap belum hilang, korban Coronavirus masih terus bertambah dan ada yang mengatakan penyebaran Coronavirus melalui udara. Sehingga mau tidak mau semua dihimbau untuk mengikuti anjuran pemerintah melalui protokol kesehatan.

Namun, seolah kebijakan yang dibuat hanya obat kerinduan atas ramainya aktifitas ekonomi dan berjalannya roda investasi. Sehingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selalu mentah dilapangan. Karena dianggap tidak efektif dan tidak efesien. Lagi-lagi harus bongkar pasang dan tata ulang.

Mungkin Coronavirus kita cukupkan sampai disini, masyarakat sudah cukup bosan untuk melihat gimic politik yang begitu tidak membawa nilai positif bagi masyarakat. Justru politik ini hanya bermuara pada segelintir orang elit politik. Hanya cari sensasi dan simpati yang tak berarti. Mau Coronavirus hilang atau tidak, masyarakat Indonesia sudah biasa beradaptasi dengan keadaan apapun. Kembali pada tema pada tulisan ini.

Jika kita menelaah awal kehancuran negara adalah dari elit politik atau birokrat yang tidak berkualitas. Sehingga dalam urusan kemanusiaan harus menghitung untung  dan rugi. Oleh sebab itu, ketika membuat kebijakan bongkar pasang.

Dalam hal ini jika kita masuk pada pemikiran tokoh besar Ibnu Khaldun dalam bukunya Mukaddimah. Menjelaskan bahwa, kekuasaan terbentuk melalui kemenangan suatu kelompok tertentu atas lainnya.

Kekuasaan itu merupakan kedudukan meyenangkan, meliputi berbagai kesenangan materi maupun maknawi, materi maupun spiritual, visible maupun invisible.  Sehingga ketika memperebutkan seringkali adanya kompetisi-kompetisi menggemparkan dan sedikit orang atau kelompok tertentu yang mau menyerahkannya, (2000; hlm 7).

Jika pemikiran Ibnu Khaldun kita gunakan untuk mendeteksi politik kekuasaan di Indonesia, partai politik menjadi proses awal justifijkasi kekuasaan, maka partai acap kali menjadi proteksi, pembela, bahwa klaim untuk segala persoalan itu.

Atas hal ini, kompetisi antar kelompok biasanya tidak dapat dilepaskan dari sikap-sikap arogan untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Dimana, pemegang kebijaksanaan dari partai atau kelompok yang berkauasa senantiasa mencari legitimasi kemenangan dari masa dengan berbagai manuver siasat atas nama kelompok, profesi, bahkan agama.  

Formulasi Kekuasaan Politik

Seyogianya politik kekuasaan harus diformulasikan untuk kemanusiaan. Karena keduannya secara naluri berkait dengan fitrah manusia dan pola pikirnya yang condong pada maslahat. Dalam cakupan ini kebutuhan terhadap perlindungan, keamanan, kesejahteraan dan lain-lain, adalah tanggung jawab politik dan kekuasaan.

Kekuasaan dan politik merupakan tanggung jawab dan amanah dalam rangka implementasi undang-undang untuk kemaslahatan bagi masyarakat umum. Membantu yang lemah, merangkul semua pihak, menjunjung tinggi hukum mendengar aspirasi, mengentas para mustadh’afin, berprasangka baik pada pemeluk agama, menghindari tindakan makar dan lain-lain.

Hal ini merupakan etika politik yang menjadi pijakan praktis dalam tindakan politik untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, dan bukan hal lagi soal melulu kekuasaan.

Pandangan Ibnu Khaldun tentang sosial politik, kekuasan beda dengan Nicollo Machiavelli (1469-1528 M) seorang filsuf dan politikus berkebangsaan itali yang menulis tetang ide-ide bangunan sosial politik kenegaraan dalam bukunya The Prince.

Dalam buku tersebut Machievelli mempropagandakan sistem baru yang liberal secera religi maupun moral. Sehingga aliran Machievelli (Machuavellisme) tidak peduli apakah tindakan yang dijalankan itu bermuatan trick-trick, tipu daya, jujur atau tidak jujur asalkan tujuan tercapai. Jika melihat dua tokoh ini sangat jauh dan bersebarangan.

Jika Ibnu Khaldun memberikan padangan politik demi kemaslahatan, lain halnya dengan Nicollo Machiavelli. Pilihannya adalah disegani atau ditakuti sebagai penguasa.

Menelaah Kehancuran Negara

Jika pemimpin hanya untuk di takuti. Maka kita harus kembali pada fungsi negara adalah sebagai ruang besar manusia untuk meraih sebuah tujuan bersama. Sehingga manusia bisa hidup damai berdampingan antar ras, suku, agama dan budaya. Negara tidak memiliki ruang sekat untuk masyarakat yang didalamya.

Namun, pandangan Ibnu Khaldun tentang negara sangatlah luas. Ia mempunyai analisa tentang masa perjuangan dan kejayaan negara terbagi menjadi tiga generasi. Yakni, 120 tahun. Satu generasi dihitung umur yang biasa bagi seseorang yaitu 40 tahun. Ketiga generasai tersebut adalah;

Pertama, generasi pertama hidup dalam keadaan primitif yang keras dan jauh dari kemewahan dan kehidupan kota. Kedua,  berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, sehingga generasi ini berhasil keluar dari kehidupan primitif dan hidup mewah di perkotaan. Ketiga, negara mengalami kehancuran, sebab generasi ini tenggelam dalam kemewahan, penakut dan kehilangan makna kehormatan, keperwiraan dan keberaniaan.

Dari rumusan tersebut mungkin bisa kita korelasikan pada keadaan negara Indonesia yang pada saat ini masih belum menunjukan prestasi baik bagi kesejahteraan bagi masayarakt. Pejabat negara masih terjerat pada poin tiga yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun.

Dari rumusan ini kita menelaah atas kehancuran negara adalah dari keserakahan pemimpin berkuasa yang tidak pernah bisa melihat tolak ukur kebijakan. Hal memalukan selalu terjadi, mimik wajah songong yang tidak pernah merasa bersalah. Cukup sudah memang, pusing bukan kepalang jika kita melihat koordinasi dan penerapan kebijakan selalu mentah. Masyarakat tidak pusing dengan ulah mereka, yang jadi petani tetap petani, pedagang kaki lima, asongan tukang sapu dan seterusnya.

Masyarakat sudah cukup nyaman dengan keseharian mereka. Kenapa pejabat negara gimick pusingnya keterusan?. Sehingga lama-lama kelihatan bodoh beneran. Bersembunyi dibalik topeng kebijakan, yang seolah benar-benar memperdulikan masyarakat. Padahal kebijakan yang dibuat tipuan. Jika semua masyarakat tahu.

Tentu hal ini juga awal sebuah kehancuran negara. Karena masyarakat tidak ada yang percaya terhadap keberadaan pemimpin. Mau, Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Bupati (Pilbup), Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan Pemilihan Presiden (Pilpres).

Walaupun ganti pemimpin seribu kali jika hanya soal kalkulator politik oligarki, maka tidak akan pernah cukup mampu membendung kesenjangan masyarakat. Yang ada hanya mampu membendung keinginan keserakahan penguasa, bukan soal kemaslahatan. (*)

]]>
https://tuban.beritabaru.co/menelaah-kehancuran-negara-atas-keserakahan-penguasa/feed/ 0 https://tuban.beritabaru.co/wp-content/uploads/sites/7/2020/07/WhatsApp-Image-2020-07-14-at-13.20.20-300x300.jpeg