Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pelajar NU Kota Malang Diajak Kritis Hadapi Ilusi Media Sosial, Dorong Kesadaran dan Aktivisme Remaja

Pelajar NU Kota Malang Diajak Kritis Hadapi Ilusi Media Sosial, Dorong Kesadaran dan Aktivisme Remaja



Berita Baru, Malang – Derasnya arus digitalisasi menjadikan media sosial ruang utama interaksi remaja, khususnya pelajar SMA. Namun, di balik wajah cerah penuh unggahan, tersimpan ilusi kehidupan sempurna yang kerap menekan psikologis generasi muda. Fenomena ini diangkat dalam kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk “Realitas dan Dilema Digital: Mengungkap Ilusi Media Sosial dan Proses Pencarian Jati Diri dalam Quarter-Life Crisis Bagi Pelajar SMA”, yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya bersama Lakpesdam NU dan IPNU/IPPNU Kota Malang, Selasa (23/9) di Kantor PCNU Kota Malang.

Acara ini diikuti belasan pelajar SMA di lingkungan Nahdlatul Ulama yang merupakan kader IPNU/IPPNU tingkat ranting se-Kota Malang. Mereka diajak menyelami sisi lain media sosial: bukan hanya sebagai tempat hiburan dan komunikasi, tetapi juga arena perbandingan sosial yang dapat memicu kecemasan, rasa rendah diri, hingga kebingungan identitas.

“Remaja berada pada fase penting pencarian jati diri. Sayangnya, media sosial sering menampilkan realitas semu yang penuh standar sosial tidak realistis. Tanpa sikap kritis, hal itu bisa menjerumuskan mereka pada ketidakpastian, bahkan memperburuk proses pencarian jati diri,” ujar narasumber, M. Fajar Shodiq Ramadlan, saat menyampaikan materi.

Rangkaian kegiatan dikemas interaktif. Setelah pemaparan materi, peserta diajak berdiskusi, berbagi pengalaman, serta melakukan eksperimen kelompok. Dua kelompok dibentuk dengan kuesioner berbeda untuk menggali persepsi mereka tentang media sosial dan pencarian jati diri. Suasana diskusi berlangsung hangat, ditandai dengan antusiasme peserta yang berani mengungkapkan keresahan mereka terkait tekanan ekspektasi sosial, standar kemapanan, hingga obsesi pencapaian yang kerap muncul di linimasa.

“Kadang saya merasa minder ketika melihat teman sebaya bisa liburan ke luar negeri atau punya barang mewah, sementara saya tidak. Tapi setelah diskusi ini, saya sadar bahwa apa yang mereka tampilkan belum tentu gambaran utuh kehidupan mereka,” ungkap salah satu peserta yang disambut anggukan setuju dari rekan-rekannya.

Melalui refleksi bersama, peserta dan fasilitator merumuskan strategi sederhana menghadapi tantangan digital, seperti membatasi waktu penggunaan media sosial, mengedepankan aktivitas produktif di dunia nyata, serta memperkuat rasa syukur terhadap kondisi diri sendiri.

Namun, kegiatan ini tidak berhenti pada upaya membangun kesadaran individu. Lebih jauh, forum ini menegaskan pentingnya menempatkan remaja NU sebagai generasi yang tidak hanya “rentan” terhadap pengaruh digital, tetapi juga “aktif” dalam mengubah realitas sosial. “Remaja adalah agen perubahan. Jika mereka bisa melihat media sosial dengan lebih kritis, mereka tidak hanya akan terhindar dari jebakan ilusi digital, tetapi juga bisa memanfaatkannya untuk menyuarakan isu sosial, ekonomi, hingga politik yang relevan dengan kehidupan mereka,” tambah Fajar.

Penyelenggara berharap kegiatan ini dapat menjadi panduan praktis sekaligus pijakan bagi IPNU/IPPNU dalam merancang program yang lebih relevan dengan kebutuhan remaja, tanpa meninggalkan akar keagamaan dan tradisi NU. Dengan demikian, aktivisme kaum muda tidak hanya tumbuh dalam ruang digital, tetapi juga terhubung dengan kehidupan nyata dan perjuangan sosial di lingkungan mereka.

Selain menambah pemahaman peserta tentang dampak media sosial, acara ini juga menghasilkan dokumentasi dan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan pengembangan program pengabdian berikutnya. Dengan semangat kolaborasi, kegiatan ini menjadi langkah kecil namun berarti dalam membantu generasi muda menghadapi era digital dengan lebih bijak, sehat, percaya diri, dan siap berperan sebagai motor perubahan sosial. (lid/nila)