
Pemerintah Didesak Naikkan Pungutan Batu Bara untuk Redam Ketimpangan Ekonomi
Berita Baru, Jakarta – Gelombang protes masyarakat dalam sepekan terakhir dinilai sebagai peringatan serius atas ketidakadilan ekonomi yang semakin melebar di Indonesia. Untuk merespons kondisi tersebut, pemerintah didorong segera menaikkan pungutan produksi batu bara serta melakukan reformasi fiskal secara menyeluruh.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, menilai akar permasalahan protes publik bukan sekadar isu politik, melainkan ketimpangan pendapatan yang kian nyata.
“Gelombang protes ini merupakan peringatan dini adanya ketidakadilan ekonomi yang besar. Ketimpangan tidak hanya menghambat pertumbuhan, tapi juga melemahkan kohesi sosial dan menciptakan kebijakan yang bias mendukung kepentingan elite. Kenaikan pungutan produksi batu bara bisa jadi solusi cepat bagi tekanan fiskal saat ini, yang harus disusul paket reformasi fiskal menyeluruh,” ujar Tata, Senin (1/9).
Ketimpangan Ekonomi Kian Nyata
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan gini ratio Indonesia stagnan di angka 0,375 pada Maret 2025. Namun, laporan World Inequality Report 2022 mencatat jurang antara 1% penduduk teratas dengan 50% terbawah mencapai lebih dari 73 kali lipat. Selain itu, kelompok 1% teratas juga menghasilkan emisi karbon rata-rata 30 kali lebih tinggi dari masyarakat terbawah.
“Apalagi 1% penduduk terkaya mendominasi peran sebagai pengambil kebijakan lewat sejumlah fungsi di pemerintahan. Sementara masyarakat kerap menjadi korban kebijakan yang berdampak signifikan terhadap kondisi perekonomian,” tambah Tata.
Pajak Kekayaan dan Industri Ekstraktif
Senada, Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry, menegaskan reformasi fiskal harus diarahkan untuk meningkatkan penerimaan dari kelompok terkaya, bukan rakyat kecil.
“Pemerintah punya pilihan untuk memberlakukan pajak kekayaan progresif bagi 1% penduduk terkaya, serta pajak kepemilikan industri ekstraktif yang padat emisi dan merusak lingkungan. Ini penting bukan hanya demi pemerataan, tapi juga untuk membatasi kekuasaan oligarki yang memengaruhi politik, kebijakan, dan hukum lewat kekuatan modal,” jelas Ashov.
Kajian SUSTAIN memperkirakan, dengan menaikkan pungutan produksi batu bara yang selama ini meraup super normal profit, negara bisa memperoleh tambahan penerimaan Rp84,55 triliun hingga Rp353,7 triliun per tahun. Dana tersebut dapat dialokasikan untuk energi terbarukan, pendidikan, layanan publik, dan program perlindungan sosial.
Keadilan Iklim dan RUU Perampasan Aset
Ashov juga menekankan bahwa isu lingkungan erat kaitannya dengan ketimpangan. “Biaya transisi energi yang berkeadilan harus ditanggung elite dan korporasi pencemar. Pemerintah juga, atas nama rasa keadilan dan kohesi sosial, bisa mempertimbangkan mengompresi kesenjangan pendapatan,” katanya.
Ia menambahkan, publik semakin jengah terhadap praktik korupsi pejabat negara. Karena itu, desakan untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset kian menguat.
Dalam jangka panjang, menurut Tata, pemerintah harus menempatkan “kesejahteraan berkelanjutan” sebagai arah utama pembangunan nasional, yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Rctiplus.com
pewartanusantara.com
Jobnas.com
Serikatnews.com
Serdadu.id
Beritautama.co
kalbarsatu.id
surau.co
