
Pusat Studi Pesantren UB Kritik Tajam Framing Trans7 dalam Pemberitaan Pesantren
Berita Baru, Malang – Isu tagar #BoikotTrans7 yang ramai di media sosial mendapat tanggapan dari akademisi Universitas Brawijaya. Ketua Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat (PSP2M) Universitas Brawijaya, Mokhamad Nur, Ph.D, menilai pemberitaan yang dilakukan oleh salah satu program di Trans7 baru-baru ini telah menimbulkan keresahan di kalangan santri dan kiai pesantren.
Menurutnya, framing media yang muncul tidak hanya menyudutkan satu pihak, tetapi juga menyakiti perasaan komunitas pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) secara lebih luas.
“Framing media, terutama yang dilakukan Trans7, sangat menyudutkan dan menyakiti santri serta kiai pondok pesantren,” tegas M. Nur, Selasa (14/10).
Ia menilai pemberitaan yang dilakukan Trans7 tidak adil karena tidak menempatkan tradisi pesantren dalam konteks sosial dan budaya yang tepat.
“Tradisi yang berlangsung di masyarakat memiliki cara sendiri untuk bertahan dan saling membantu. Jadi jangan sampai tradisi seperti ini justru dipelintir seolah menjadi praktik eksploitatif,” tambahnya.
Di tengah pemberitaan tersebut, narasi yang disampaikan oleh media terkesan ngawur, dibacakan dengan nada merendahkan, dan didukung oleh tayangan visual yang menghina. Pemberitaan tersebut menyajikan pesan seolah-olah pesantren mengeksploitasi santri, dengan kiai yang memperkaya diri melalui cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Narasi ini sangat tidak adil dan menyesatkan, memperburuk persepsi publik terhadap pesantren secara keseluruhan.
“Meski demikian, menyikapi kasus ambruknya Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, kami menyadari bahwa pesantren melakukan kesalahan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, sehingga diperlukan evaluasi total dalam pembangunan pesantren yang layak dan aman bagi santri,” tambahnya.
Sebagai akademisi yang fokus pada isu pesantren dan pemberdayaan masyarakat, M. Nur berharap agar media lebih berhati-hati dalam membingkai isu-isu yang menyangkut lembaga keagamaan. Ia menilai, peliputan yang tidak proporsional justru dapat memperkuat stereotip negatif dan memicu perpecahan sosial.
“Media punya tanggung jawab moral untuk mencerdaskan publik, bukan memperkeruh situasi. Kritik tentu boleh, tapi harus dengan perspektif yang adil dan memahami akar budaya masyarakat pesantren,” pungkasnya.
Rctiplus.com
pewartanusantara.com
Jobnas.com
Serikatnews.com
Serdadu.id
Beritautama.co
kalbarsatu.id
surau.co
