
Reshuffle Menteri Keuangan Dinilai Tak Akan Menyembuhkan Ekonomi
Berita Baru, Jakarta – Diskusi panel bertajuk “Reshuffle Menyembuhkan Ekonomi?” yang digelar Universitas Paramadina pada Selasa (10/9/2025) menghadirkan sejumlah ekonom dan praktisi, menghasilkan kesimpulan yang kritis yaitu: pergantian Menteri Keuangan tidak otomatis membawa perbaikan mendasar pada kondisi ekonomi Indonesia.
Direktur Program INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, menegaskan bahwa perekonomian Indonesia hingga kini belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. Meski pertumbuhan tercatat di atas 5%, upah riil masyarakat stagnan dan ketimpangan semakin terasa.
“Share pekerja informal Februari 2025 mencapai 59,4% atau 86,58 juta orang, naik dari 56,6% pada 2020. Kelas menengah justru tergerus,” jelasnya. Ia menambahkan, ruang fiskal semakin sempit karena kebutuhan program prioritas yang besar, sementara penerimaan pajak terus menurun.
Hal senada disampaikan Wijayanto Samirin, ekonom Paramadina, yang menyoroti persoalan fiskal sebagai titik paling mendesak. Tax ratio Indonesia kini hanya 9,6%, jauh di bawah standar sehat.
“Debt service ratio sudah 42% dari pendapatan negara, padahal batas sehat 25%. Ini menunjukkan ekonomi kita sedang tidak sehat,” ungkapnya.
Ia menilai pergantian Sri Mulyani terlalu dini, mengingat 2025–2026 adalah periode kritis fiskal. Wijayanto mengusulkan Menkeu baru berhati-hati dalam pernyataan publik, berani melakukan refocusing APBN, memperbaiki manajemen utang, dan mendorong ekonomi bawah tanah agar masuk ke sektor formal.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi InfoBank, Eko B. Supriyanto, menegaskan persoalan utama Indonesia bukan sekadar fiskal, melainkan moral.
“Problem kita bukan kekurangan uang, tapi kebanyakan kriminal keuangan dan korupsi. Ilmu ekonomi bukan hanya soal angka, tapi soal etika,” katanya.
Menurut Eko, Menkeu baru harus mengoreksi candu utang dengan pendekatan baru seperti modern monetary theory agar pembiayaan tidak sepenuhnya bergantung pada pinjaman.
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menutup diskusi dengan menekankan bahwa APBN merupakan masalah paling berantakan.
“Menteri Keuangan memang sentral, tapi tanpa dukungan industri yang sehat, APBN sebaik apapun tidak akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 7%,” ujarnya.
Diskusi ini menyimpulkan bahwa reshuffle menteri keuangan lebih merupakan respons jangka pendek daripada solusi strategis. Tantangan fundamental, mulai dari deindustrialisasi dini hingga ketergantungan utang, tetap membutuhkan keberanian politik dan konsistensi kebijakan di luar sekadar pergantian personel kabinet.
Rctiplus.com
pewartanusantara.com
Jobnas.com
Serikatnews.com
Serdadu.id
Beritautama.co
kalbarsatu.id
surau.co
