Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sikap Positif Politik Organisasi Muhammadiyah

Sikap Positif Politik Organisasi Muhammadiyah



Berita Baru, Tuban – Pimpinan Pusat Muhammadiyah memiliki pandangan bahwa politik itu penting dan merupakan bagian dakwah sebagaimana yang disampaikan didalam Khittah Denpasar Tahun 2002. Banyak kader Muhammadiyah yang aktif dalam partai politik yang menjadi anggota DPR, DPD dan di lembaga pemerintah lainnya yang dinilai positif oleh Muhammadiyah.

Persyarikatan Muhammadiyah tidak alergi terhadap politik, hal tersebut tertuang dalam klausul Kepribadian Muhammadiyah 1962. Pernyataan yang tertulis perlu kembali dimunculkan ditengah tahun politik. Muhammadiyah sampai dengan saat ini masih berpegang teguh terhadap khittahnya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan.

Sebagaimana dalam Kepribadian Muhammadiyah, organisasi Muhammadiyah bukanlah partai politik, namun bukan berarti Muhammadiyah antipolitik dan tidak memahami politik.
Dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, berkembangnya politik dalam arti kekuasaan.

Namun, dalam hal ini Muhammadiyah lebih kentara mengembangkan gaya politik yang akomodatif: bekerjasama dengan pemerintah, melalui fatwa-fatwa Muhammadiyah dalam menyikapi persoalan sosial-politik-keagamaan. Tetapi pada kesempatan lain mengkritisi kebijakan pemerintah.

Menurut Haedar Nashir istilah “sikap politik yang akomodatif” atau “perilaku politik yang akomodatif” merupakan hal yang netral dalam kancah perpolitikan (Haedar Nashir, 2006), dibandingkan dengan cara menghimpitkan diri kedalam lingkaran kekuasaan.

Haedar Nashir menjelaskan bahwa perilaku politik moderat akomodatif merupakan sikap politik kompromistik atau menyesuaikan diri dengan kekuasaan (pemerintah, negara) tetapi tidak dengan mengintegrasikan diri dalam kekuasaan selain terbatas pada Kerjasama yang saling membutuhkan dengan tetap berpegang pada prinsip gerakan Muhammadiyah (Haedar nashir dalam bukunya Muhammadiyah abad kedua).

Meskipun kuatnya arus dalam sejumlah argumentasi, kritik dan tuntutan terhadap Muhammadiyah dalam rangka reinterpretasi khittah perjuangannya, sekali lagi terlihat bahwa posisi Muhammadiyah tetap mengambil sikap netral terhadap politik dan partai sebagaimana diputuskan melalui Muktamar ke 38 Makassar tahun 1971 yang terus dipertahankan.

“Prinsip netral terhadap partai sebagai upaya menghindari benturan kepentingan antara kecenderungan kultur (umat) dan struktural (kekuasaan),” ujar Haedar Nashir.

Haedar Nashir dalam Muktamar Pemuda Muhammadiyah beberapa waktu lalu menegaskan akan tetap membawa Persyarikatan Muhammadiyah pada Khittahnya yaitu sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya. Dalam Khittah Denpasar 2002 ditegaskan untuk politik itu penting dan menjadi urusan al-umur al-adunyawiyah (dunia), tetapi Muhammadiyah membagi dalam dua ranah.

“Ranah pertama yaitu politik kenegaraan secara umumnya Muhammadiyah menjalankan peran kebangsaan melalui opini, kritik, komunikasi dan lainnya,” tambahnya.

Haedar Nashir menegaskan kritik yang diberikan Muhammadiyah terhadap pemerintah, Polri, TNI, dan partai politik merupakan bentuk rasa memiliki Indonesia dan sebagai bentuk peduli Muhammadiyah terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Ranah kedua ialah urusan politik kekuasaan dalam memperjuangkan posisi di pemerintahan yang harus dilakukan oleh politik.

Muhammadiyah dapat berkomunikasi dan membangun hubungan baik dengan partai politik dalam memperjuangkan kepentingan umat, bangsa dan persyarikatan sesuai dengan posisinya selaku organisasi dakwah kemasyarakatan.
Sutan Yunus Danu Anwari dalam tulisannya mengatakan bahwa Muhammadiyah menempuh jalan politik Adiluhung (HighPolitics) sebagai bentuk komunikasi kepentingan politiknya.

Dengan kebesarannya dan dengan dukungan struktur dan AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) yang tersebar disemua penjuru Indonesia serta 24 cabang istimewa diluar negeri, Muhammadiyah saat ini sangatlah penting untuk memikirkan potensi sumber daya dan modal sosialnya agar bisa dikapitalisasi menjadi keuntungan politik.

“Alhamdulillah banyak Kader Muhammadiyah yang tetap menunjukkan sikap baik dan positif setelah berkiprah didunia politik, sebagaimana di ranah perjuangan yang lainnya, sehingga organisasi Muhammadiyah merasakan makna dan manfaatnya dari kehadiran mereka,” tuturnya.

Dengan demikian penulis dapat memahami bahwa hubungan antara Muhammadiyah dengan politik memiliki sikap yang positif, netral dan memiliki cita-cita yang kuat dalam membangun kemajuan bangsa dan negara Indonesia ini dengan tetap mengedepankan nilai – nilai Islami.

Selain hal tersebut Muhammadiyah juga tetap mempersiapkan strategi politik atas isu dan persoalan politik negara saat ini dengan mengedapankan tanggungjawab (Amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah).

(Muhammad Hanifa/Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Malang)